Di kantin sekolah, Zian duduk bersama teman-temannya, Aldo, Ollan, Floran, Daniel, dan Gitan, menikmati makan siang mereka. Zian tampak menikmati bekal dari Bunda, masakan kesayangannya yang selalu membuat suasana hatinya tenang. Suasana di meja mereka terasa santai, dengan canda tawa ringan dari teman-temannya yang mengisi waktu istirahat.
Floran, yang duduk di samping Zian, melirik ke arah bekal Zian. "Bro, kayaknya makanan lo selalu enak banget. Boleh dong nanti minta resep ke Bunda lo," canda Floran sambil menyuap nasi dari piringnya sendiri.
Aldo dan Ollan tertawa kecil, sementara Daniel hanya tersenyum sambil fokus pada makanannya. Gitan duduk di ujung meja, memperhatikan suasana kantin yang ramai, tanpa banyak bicara.
Namun, ketenangan mereka tak berlangsung lama. Dari arah pintu kantin, suara langkah kaki yang berat dan penuh emosi terdengar. Alex dan gengnya masuk ke dalam kantin dengan tatapan tajam yang langsung tertuju pada meja Zian dan teman-temannya. Wajah Alex penuh dengan amarah, dan tanpa basa-basi, dia langsung menuju ke arah mereka.
"Hei, anak cupu!" teriak Alex dengan nada merendahkan, membuat beberapa siswa di sekitar mereka menoleh ke arah sumber suara.
Zian, yang sedang menikmati makan siangnya, hanya melirik sekilas ke arah Alex namun tidak mengatakan apa-apa. Ia kembali fokus pada makanannya, tidak terganggu sedikit pun oleh teriakan Alex.
Merasa diabaikan, Alex semakin tersulut emosinya. Ia melangkah lebih dekat, ditemani oleh beberapa anak buahnya. "Lo bener-bener kurang ajar, ya. Gue udah ngomong sama lo kemarin, dan sekarang lo malah pura-pura nggak denger?!" teriak Alex lagi, suaranya semakin keras.
Aldo yang duduk di ujung meja, menatap Alex dengan tajam, sementara Floran dan Gitan tetap tenang, meskipun mereka sudah siap berjaga-jaga kalau situasi semakin memanas. Daniel dan Ollan saling bertukar pandang, merasa ketegangan di udara.
Zian masih tetap tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda akan merespons. Baginya, melayani olok-olok Alex tidak ada gunanya. Zian tahu betul bagaimana menghadapi orang seperti Alex—mengabaikan mereka adalah cara terbaik. Namun, sikap acuh tak acuh Zian justru semakin memanaskan suasana.
"Lo bener-bener nggak ada otaknya ya?! Gue ngomong sama lo!" Alex kini menabrak meja tempat Zian dan teman-temannya duduk, membuat beberapa makanan di meja bergetar.
Ollan mengangkat tangan, berusaha menenangkan. "Bro, santai, kita di sini cuma makan, nggak ada masalah sama lo."
Namun, Alex tak peduli. Matanya tertuju hanya pada Zian yang masih dengan tenang melahap makanannya. Sikap dingin Zian membuat Alex semakin murka. "Lo pikir gue cuma bercanda, hah?! Lo bakal nyesel udah ngabaikan gue!" Alex kemudian meraih kerah seragam Zian, menariknya dengan kasar.
Seketika, suasana kantin menjadi tegang. Beberapa siswa mulai berkumpul, menyaksikan situasi yang semakin memanas.
Namun, Zian tetap tenang. Ia menatap Alex tanpa emosi, bahkan tanpa sedikit pun rasa takut. "Gue nggak punya masalah sama lo, Alex," katanya pelan, suaranya terdengar dingin namun tegas. "Kalau lo mau marah, itu urusan lo, bukan urusan gue."
Jawaban Zian yang tenang dan tidak terpengaruh membuat Alex semakin geram. Ia mendorong Zian ke belakang, namun Zian tetap stabil dan tidak terpancing emosi.
"Jangan pura-pura jadi pahlawan di sini, anak cupu!" Alex berteriak lagi, namun Zian tetap diam, hanya menatapnya dengan tatapan yang seolah mengatakan bahwa Alex tak lebih dari seorang pengecut yang mencari perhatian.
Floran akhirnya angkat bicara, suaranya tenang tapi penuh makna. "Alex, kalau lo mau cari masalah, bukan di sini tempatnya. Kita cuma mau makan, jadi kalau lo punya urusan lain, selesaikan di luar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Wolf
AcciónDark Wolf, geng yang dibangun sejak kecil oleh Arzian bersama sahabat-sahabatnya Aldo, Ollan, Daniel, Floran, dan Gitan-resmi berdiri saat SMP. Namun, setelah Arzian pergi dikirim ke Jepang karena sebuah insiden, geng ini menghadapi ancaman besar d...