Pagi menjelang dengan langit yang mulai cerah, namun suasana di rumah sakit masih terasa berat. Zian berdiri di lorong rumah sakit, menatap sahabat-sahabatnya yang masih setia berjaga meski malam telah berganti hari. Dia merasa bertanggung jawab, tak hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai seorang sahabat.
Setelah menerima kabar dari Gitan bahwa orang tua Jecal dalam perjalanan, "Lo semua pulang aja, istirahat, dan siap-siap buat sekolah. Gue yang bakal jagain Jecal dan anak-anak lainnya," kata Zian tegas.
Ollan, yang sejak tadi diam, langsung menolak. "Gue ikut, Zi. Gimanapun, Jecal itu wakil gue. Gue nggak bisa ninggalin dia."
Zian memandang Ollan sejenak, lalu mengangguk. "Oke, Lan, tapi yang lain pulang aja, ya."
Aldo, Daniel, dan Gitan hendak menolak keputusan Zian, tapi Zian memotong lebih dulu. "Cukup gue sama Ollan. Bentar lagi Bunda gue dan orang tua Jecal bakal datang. Jadi nggak perlu terlalu banyak orang di sini."
Mendengar penjelasan itu, meski dengan berat hati, Aldo, Daniel, Gitan, dan yang lain akhirnya setuju. Mereka pulang, meninggalkan Zian dan Ollan di rumah sakit. Setelah teman-temannya pergi, Zian melirik Ollan yang sejak semalam belum tidur. Dengan sigap, Zian membeli sarapan di kantin rumah sakit dan membawakannya kepada Ollan. "Nih, lo makan dulu terus tidur Lan. Gue liat lo belum tidur dari semalem."
Ollan hanya tersenyum kecil, menerima makanan itu dan mulai makan perlahan. "Thanks Bos. Gue nggak bisa tidur kalo inget kondisi Jecal sama yang lainnya."
"Nggak apa-apa, Lan. Yang penting kondisinya udah stabil," jawab Zian sambil menepuk pundak Ollan, berusaha memberi semangat.
Tak lama setelah sarapan selesai, orang tua Jecal datang. Mama dan Papa Jecal memasuki ruang perawatan dengan wajah cemas, tapi lega setelah melihat anak mereka sudah stabil meski belum sepenuhnya sadar. Zian dan Ollan menghampiri mereka dengan rasa bersalah yang membebani hati mereka.
"Om, Tante... saya mohon maaf, Saya nggak bisa jaga Jecal dengan baik," ucap Zian sambil menundukkan kepala.
Ollan ikut berdiri di sebelah Zian, menunduk dalam-dalam, merasa bahwa sebagai wakil geng, dia juga punya tanggung jawab besar atas apa yang terjadi pada Jecal.
Namun, bukannya marah, Mama Jecal justru memandang Zian dengan mata yang berkaca-kaca. Dia merasa tersentuh melihat ketulusan hati Zian dan Ollan. Papa Jecal menepuk pundak Zian dengan lembut, memberikan isyarat bahwa mereka tidak menyalahkannya.
"Nak, jangan seperti itu," kata Papa Jecal dengan suara lembut. "Kami justru senang Jecal punya teman-teman yang setia dan peduli seperti kalian. Kami tahu kalian sudah melakukan yang terbaik."
Mama Jecal mengangguk setuju. "Kalian sudah seperti keluarga bagi Jecal. Terima kasih karena sudah menjaga dia."
Zian dan Ollan tersentuh mendengar kata-kata tersebut. Meski beban di hati mereka belum sepenuhnya hilang, setidaknya mereka tahu bahwa orang tua Jecal tidak menyalahkan mereka. Sebaliknya, mereka merasa bangga bisa menjadi sahabat yang setia bagi Jecal.
Mereka berdiri di sana dalam keheningan sejenak, merasakan kehangatan yang perlahan-lahan menghapus rasa bersalah yang mereka rasakan. Tiba-tiba, terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Zian dan Ollan menoleh dan melihat Bunda Shani memasuki ruangan, membawa keranjang besar berisi buah-buahan segar. Wajahnya yang selalu tenang membawa kehangatan di tengah situasi yang berat. Shani langsung menengok ke arah Jecal yang masih terbaring di kasur, memastikan kondisinya baik sebelum menghampiri anak-anak Dark Wolf lainnya di ruangan yang berbeda.
Tanpa basa-basi, Zian langsung berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Bundanya. Dalam sekejap, dia memeluk erat wanita yang selalu menjadi tumpuan hatinya. Shani, yang tahu persis bagaimana perasaan anaknya, menepuk punggung Zian dengan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Wolf
AksiDark Wolf, geng yang dibangun sejak kecil oleh Arzian bersama sahabat-sahabatnya Aldo, Ollan, Daniel, Floran, dan Gitan-resmi berdiri saat SMP. Namun, setelah Arzian pergi dikirim ke Jepang karena sebuah insiden, geng ini menghadapi ancaman besar d...