1

1.1K 83 0
                                    

Musik berdentum memekakkan telinga, sementara lampu laser membelah kegelapan klub malam itu.

Di tengah lautan manusia yang bergoyang, Alby berdiri di atas meja VIP, botol champagne mahal di satu tangan dan mikrofon di tangan lainnya.

"Malam masih muda, dan kita juga!" teriaknya, disambut sorakan riuh rendah dari teman-temannya.

Dengan gerakan dramatis, ia membuka botol champagne, membiarkan cairan berbuih itu membasahi lantai marmer yang mahal.

Tawa Alby membahana saat ia mulai menyiramkan champagne ke mulut teman-temannya yang menengadah di bawah, seolah uang baginya hanyalah kertas tak berarti.

Alby merasakan adrenalin mengalir deras di pembuluh darahnya.

Inilah hidup, pikirnya. Mata-mata yang memandangnya dengan kagum, iri, atau bahkan cemburu—semua itu adalah bahan bakar bagi egonya yang tak pernah puas.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, menikmati setiap detik menjadi pusat perhatian.

Di sudut matanya, ia melihat sekelompok gadis yang cekikikan sambil melirik ke arahnya.

Dengan senyum menawan, Alby mengedipkan mata pada mereka, membuat wajah para gadis itu memerah seketika.

"Yo, Alby! Turun sini, bro!" teriak Rico, salah satu teman dekatnya. Alby melompat turun dengan lincah, nyaris tersandung tapi berhasil mendarat dengan pose yang (menurutnya) keren.

"Man, kau gila! Tapi itu yang kita suka darimu!" Rico merangkul Alby, nafasnya berbau alkohol.

Alby tertawa, merasa on top of the world. Ia merogoh saku, mengeluarkan segepok uang dan melemparkannya ke udara.

"Drinks on me, guys!" teriaknya, disambut sorakan gembira dari kerumunan di sekitarnya.

Pelayan-pelayan bergegas mengumpulkan uang yang bertebaran, sementara teman-teman Alby berlomba-lomba memesan minuman termahal.

Ketika ponselnya bergetar untuk kesekian kalinya, Alby melirik sekilas.

Nama asisten dosennya muncul di layar, mengingatkannya akan tugas yang belum dikerjakan.

Untuk sepersekian detik, sebersit rasa bersalah muncul di benaknya. Namun, secepat perasaan itu muncul, secepat itu pula Alby menghalaunya.

"Besok urusan besok," gumamnya, mematikan ponsel dan memasukkannya kembali ke saku.

Ia menyambar segelas cocktail dari nampan pelayan yang lewat dan menenggaknya dalam sekali teguk.

Malam masih panjang, dan Alby tidak berniat melewatkan satu detik pun dari euforia yang memabukkan ini. Baginya, hidup adalah panggung, dan ia adalah bintang utamanya.

Esok hari dengan segala konsekuensinya adalah masalah yang bisa diurus nanti.

Sekarang, yang ada hanyalah musik yang menghentak, minuman yang mengalir, dan sensasi menjadi raja malam yang tak tertandingi.

Sementara gemerlap lampu disko mulai meredup dan dentuman musik perlahan mengabur, malam di kota itu memasuki fase yang berbeda.

Di satu sisi kota, Alby terhuyung keluar dari klub, tawanya masih menggema di udara malam yang dingin. Mobil mewahnya menunggu, siap membawanya ke petualangan berikutnya.

Di sisi lain kota, lampu-lampu jalanan yang temaram mulai menyala satu per satu, menerangi jalan pulang para pekerja keras seperti Juan.

Dua dunia yang begitu berbeda, terpisah oleh jarak dan kelas sosial, tanpa menyadari bahwa takdir telah merajut benang tak kasat mata yang akan mempertemukan mereka.

Udara malam yang sama mengalir melalui jendela mobil Alby yang terbuka dan menyapu wajah lelah Juan yang berjalan kaki.

Tanpa mereka sadari, setiap detik yang berlalu membawa mereka semakin dekat pada titik pertemuan yang akan mengubah hidup keduanya selamanya.

Lampu jalanan yang remang-remang menerangi sosok Juan yang berdiri di pinggir jalan, tepat di depan gerobak nasi goreng langganannya.

Aroma bumbu yang menggugah selera menggelitik hidungnya, membuat perutnya bergemuruh pelan.

Seragam kerjanya yang berwarna biru masih melekat di tubuhnya, ternoda oli dan debu – bukti perjuangannya seharian di bengkel.

Juan menghela nafas panjang, meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah berjam-jam membungkuk di atas mesin motor.

"Nasi gorengnya sebentar lagi ya, Mas Juan," ujar Pak Somad, si penjual nasi goreng, sambil mengaduk nasi di wajan besarnya. Juan hanya mengangguk dan tersenyum.

Sembari menunggu, Juan mengeluarkan dompet kulit tuanya yang sudah mulai mengelupas.

Ia menghitung uang di dalamnya dengan teliti – hasil kerja kerasnya hari ini. Sebagian besar akan ia serahkan pada ibunya untuk kebutuhan rumah tangga, sisanya ia sisihkan untuk tabungan masa depan.

Impian untuk memiliki bengkel sendiri suatu hari nanti masih ia simpan rapi di sudut hatinya, meski kadang terasa begitu jauh.

Matanya menerawang ke jalanan yang mulai sepi. Di kejauhan, ia bisa melihat gedung-gedung tinggi bercahaya terang, kontras dengan area tempatnya berdiri.

Juan tidak pernah iri dengan kehidupan mewah yang terpampang di hadapannya. Baginya, kebahagiaan sejati ada dalam kesederhanaan – dalam pelukan hangat ibunya, candaan ringan dengan Manuel, kakaknya, dan kepuasan setelah seharian bekerja keras.

"Ini Mas, nasi gorengnya sudah jadi," suara Pak Somad membuyarkan lamunan Juan. Dengan sigap, Juan menerima bungkusan nasi goreng yang masih mengepul.

Ia mengeluarkan uang pas dari dompetnya, memberikannya pada Pak Somad dengan senyum lebar.

Dengan langkah ringan, Juan berjalan pulang, membayangkan wajah cerah ibunya saat ia tiba di rumah nanti.

Bungkusan nasi goreng di tangannya terasa hangat, seolah mewakili kehangatan hatinya. Meski tubuhnya lelah, Juan merasa puas.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia telah melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Dan baginya, itu adalah pencapaian terbesar yang bisa ia raih.

Ketika ia sampai di persimpangan, Juan berhenti sejenak. Lampu penyeberangan masih merah, tapi jalanan terlihat sepi.

Ia menimbang-nimbang, haruskah ia menunggu atau menyeberang saja? Akhirnya, melihat tidak ada kendaraan yang lewat, Juan memutuskan untuk melangkah ke jalan.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar deru mobil yang melaju kencang.

Juan menoleh, matanya melebar melihat sepasang lampu depan yang melesat ke arahnya. Otaknya memerintahkan kakinya untuk bergerak, tapi tubuhnya seolah membeku. Dalam sekejap mata, Juan merasakan hantaman keras. Bungkusan nasi goreng terlepas dari tangannya, terbang ke udara bersama dengan pecahan kaca dan serpihan logam.

Dunia berputar dalam gerakan lambat. Juan merasakan tubuhnya terpelanting, membentur aspal dengan keras. Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi yang paling menyiksa adalah tenggorokannya. Ia ingin berteriak, memanggil minta tolong, tapi tidak ada suara yang keluar.

Sebelum kegelapan menyelimutinya, pikiran terakhir Juan adalah tentang ibunya yang pasti akan cemas menunggunya pulang.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang