28

791 96 13
                                    

Senja mulai merambat di langit kota, memberikan semburat jingga yang hangat menembus jendela kamar Alby. Di atas kasur empuknya, Alby duduk bersila dengan laptop di pangkuan, ditemani sebungkus keripik kentang dan sebotol susu yang sudah setengah kosong. Jemarinya menari lincah di atas keyboard, sesekali berhenti untuk menggaruk kepala atau mengunyah keripik.

Tiba-tiba, sebuah nada dering khusus memecah keheningan kamar. Alby tersentak, tangannya refleks meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Nada dering itu milik Rico, sahabatnya yang selalu menjadi pembawa kabar gembira tentang pesta-pesta seru. Dulu, suara itu selalu membuat jantung Alby berdebar penuh antisipasi. Namun kini, ada sedikit keraguan yang menyusup ke dalam hatinya.

Alby menatap layar ponselnya, ragu-ragu untuk membuka pesan itu. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan pada Juan untuk mengurangi frekuensi berpesta, berusaha menjalani hidup yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Namun, bisikan halus di sudut pikirannya mulai menggelitik rasa penasarannya.

"Tidak apa-apa, kan, kalau hanya mengecek isinya saja?" pikir Alby, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Dengan satu gerakan cepat, ia membuka pesan tersebut.

Pesan dari Rico ternyata lebih dari sekadar ajakan berpesta biasa. Rico mengingatkan bahwa besok adalah hari ulang tahunnya, dan akan diadakan perayaan di klub bernama Park Bar. Yang membuat Alby tertegun adalah kalimat terakhir Rico: "Kau wajib hadir sebagai tamu spesial, Alby. Kita berdua tahu betapa dekatnya kita soal pesta, kan?"

Alby menggigit bibir bawahnya, kebimbangan mulai menggerogoti pikirannya. Haruskah ia pergi? Atau sebaiknya ia hanya mengirimkan kado melalui kurir saja? Pikirannya berputar, menimbang-nimbang pilihan yang ada. Di satu sisi, ia ingin menepati janjinya untuk hidup lebih baik. Di sisi lain, Rico adalah sahabatnya, dan ini adalah hari spesial.

Saking fokusnya dengan dilema internal ini, Alby sama sekali lupa bahwa ia sendiri yang meminta Juan untuk tidak bekerja besok. Ia berniat mengajak suaminya itu untuk berkencan, sebuah momen langka mengingat jadwal kerja Juan yang padat dan rutinitas Alby yang masih beradaptasi dengan kehidupan barunya.

Alby memutuskan untuk tidak langsung membalas pesan Rico. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada tugas kuliah yang sudah mendekati tenggat waktu. Perlahan, pikirannya teralihkan oleh deretan kode dan rumus yang harus ia selesaikan.

Waktu berlalu tanpa terasa. Langit di luar jendela sudah sepenuhnya gelap ketika pintu kamar terbuka perlahan. Juan, dengan wajah lelah namun tetap tersenyum hangat, melangkah masuk. Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Juan pulang kerja dan wajah yang pertama ia lihat di rumah adalah Alby. Biasanya, Juan hanya akan bertemu Alby saat hampir waktu tidur, ketika Alby baru pulang dari kegiatan kampus atau hang out dengan teman-temannya.

Juan terdiam sejenak di ambang pintu, menikmati pemandangan Alby yang begitu fokus dengan laptopnya. Sesekali Alby menggaruk kepalanya, ekspresinya menunjukkan campuran antara kebingungan dan tekad. Juan tersenyum kecil, lalu melangkah mendekati kasur dan duduk di pinggirnya.

Baru saat itulah Alby menyadari kehadiran Juan. Wajahnya yang tadinya terlihat penat seketika berubah cerah. Senyum lebar menghiasi wajahnya, matanya berbinar menatap Juan. Dengan gerakan cepat, Alby menggeser laptopnya dan merentangkan kedua tangannya, meminta pelukan dari Juan.

Namun, Juan tidak langsung menyambut pelukan itu. Ia meraih ponselnya dan membuka aplikasi text-to-speech. Dengan cepat, ia mengetik pesan bahwa ia belum mandi dan masih bau serta kotor setelah seharian bekerja di bengkel.

Mendengar suara robotik dari aplikasi itu, Alby cemberut. Tangannya yang semula terangkat perlahan turun. Juan, melihat ekspresi kecewa Alby, kembali mengetik. Kali ini pesannya menjanjikan pelukan setelah ia selesai mandi.

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang