24

611 94 4
                                    

Suasana pesta di apartemen Rico mulai mereda. Dentuman musik yang tadinya memekakkan telinga kini hanya terdengar samar-samar. Beberapa tamu undangan telah meninggalkan tempat itu, menyisakan Rico, perempuan yang menjadi partnernya, Alby, dan dua teman Rico yang tidak begitu dikenal Alby.

Mereka berlima duduk melingkar di ruang tengah, dengan berbagai botol minuman keras tersebar di meja. Suasana menjadi lebih intim seiring berkurangnya jumlah orang. Rico mengusulkan untuk bermain lomba minum, menantang siapa yang bisa bertahan paling lama.

Alby, yang sudah merasa pusing sejak tadi, mencoba untuk mengimbangi. Namun, setelah beberapa gelas, ia merasa tidak sanggup lagi. Kepalanya terasa berat, dan pandangannya mulai kabur. "Rico," ucapnya dengan suara serak, "boleh aku pinjam kamarmu? Aku rasa aku butuh istirahat."

Rico mengangguk, memberikan izin pada Alby untuk menggunakan kamarnya. Dengan langkah gontai, Alby berjalan menuju kamar Rico, meninggalkan keempat orang lainnya yang masih asyik melanjutkan pesta dan bersiap untuk bermain Truth or Dare.

Begitu merebahkan diri di atas kasur, Alby langsung terlelap. Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur, sampai tiba-tiba matanya terbuka. Dengan pandangan masih kabur, ia melirik jam dinding di kamar Rico. Pukul 04.30 pagi.

"Sial," gumamnya kesal. Alby mengusap wajahnya dengan frustasi. Biasanya, setelah minum alkohol, ia akan tertidur pulas hingga siang hari. Tapi kali ini, tubuhnya seolah sudah terprogram untuk bangun pagi, berkat kebiasaan yang ditanamkan Bu Ita selama ini.

Alby mengerang pelan, mengutuk dalam hati. Ia menatap langit-langit kamar Rico, pikirannya melayang pada sosok Bu Ita yang selalu membangunkannya pada jam-jam seperti ini. Meskipun kesal.

Tenggorokannya terasa kering dan perih. Alby memutuskan untuk keluar kamar dan mencari minum di dapur. Dengan langkah pelan, ia membuka pintu kamar dan berjalan menuju ruang tengah.

Pemandangan yang menyambutnya membuat Alby terpaku sejenak. Di sofa ruang tengah, Rico, dua teman laki-lakinya, dan perempuan sedang melakukan hal yang intim. Mereka begitu larut dalam kegiatan mereka hingga tidak menyadari kehadiran Alby.

Alby menggelengkan kepala, berusaha tidak terlalu memikirkan apa yang dilihatnya. Ia kembali fokus pada tujuan awalnya mencari minum. Dengan langkah cepat, ia menuju dapur dan mengambil sebotol air mineral dari kulkas.

Saat Alby sedang meneguk air, Rico akhirnya menyadari kehadirannya. "Hey, Alby!" serunya dengan suara serak. "Mau bergabung?"

Alby menoleh, menatap Rico dengan ekspresi datar. "Tidak, terima kasih. Kalian lanjutkan saja," jawabnya singkat, kemudian kembali meneguk air mineralnya.

Sambil berdiri di dapur, pikiran Alby mulai melayang. Tanpa sadar, ia membayangkan Juan. Bagaimana rasanya jika mereka melakukan hal intim seperti yang dilakukan Rico dan teman-temannya? Seberapa seksi Juan saat berhubungan badan? Alby menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu.

Mereka memang sudah menikah, tapi belum pernah melakukan hal tersebut. Ada rasa aneh yang muncul di dada Alby. Namun, ia juga tidak ingin meminta Juan untuk melakukannya. Bagaimanapun, Alby sendiri yang meminta Juan untuk tidak terlalu serius dengan hubungan pernikahan mereka.

Alby menghela nafas berat. Ia memutuskan untuk kembali ke kamar, tidak mempedulikan suara-suara yang berasal dari ruang tengah. Begitu sampai di kamar, Alby berbaring miring di atas kasur. Ia meraih ponselnya yang seharian kemarin sengaja dimatikan.

Begitu ponsel menyala, layarnya dipenuhi notifikasi. Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan masuk membanjiri layar. Kebanyakan berasal dari ayahnya, ibu Juan, dan yang paling banyak adalah dari Juan sendiri.

Alby mengabaikan pesan-pesan marah dari ayahnya dan pertanyaan-pertanyaan cerewet dari mertuanya yang menanyakan keberadaannya. Ia lebih memilih untuk fokus pada pesan-pesan dari Juan. Alby menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong, jemarinya bergerak perlahan menyusuri deretan pesan dari Juan. Matanya terpaku pada bubble chat pertama "Alby, apa yang terjadi dengan kamar kita? Kenapa tiba-tiba berubah?"

Ia tersenyum tipis, membayangkan ekspresi terkejut Juan saat melihat perubahan drastis kamar mereka. Pesan berikutnya membuat dada Alby terasa hangat "Terima kasih untuk kasur barunya."

Namun, semakin ke bawah, nada pesan Juan berubah. Kekhawatiran mulai tersirat dalam setiap katanya "Alby, kau di mana? Sudah larut malam, apa kau baik-baik saja?"

"Tolong balas pesanku jika kau melihatnya. Aku khawatir."

Alby menggigit bibirnya, rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya. Ia terus men-scroll, hingga matanya menangkap sebuah pesan yang membuatnya tertegun "Maafkan aku, Alby. Apa selama ini kau tidak merasa nyaman tinggal di rumahku? Aku minta maaf jika ada yang membuatmu tidak betah. Tolong, kembalilah ke rumah."

Alby menggelengkan kepalanya, menyadari bahwa Juan pasti sedang overthinking. Bagaimana mungkin Juan berpikir bahwa dirinyalah yang membuat Alby tidak nyaman? Padahal selama ini, Juan selalu berusaha membuat Alby merasa diterima di rumahnya.

Namun, pesan terakhir dari Juan membuat air mata Alby tak terbendung lagi "Alby, tidak apa-apa jika kau ingin bermain bersama teman-temanmu. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai kau puas bermain. Tolong jaga dirimu baik-baik selama di luar. Aku akan ada di rumah saat kau siap untuk pulang."

Isakan tertahan lolos dari bibir Alby. Ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha meredam tangisnya agar tidak membangunkan Rico dan yang lainnya. Air matanya mengalir deras, membasahi bantal Rico.

Mengapa Juan bisa begitu pengertian? Mengapa ia masih peduli pada Alby yang telah bersikap jahat? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Alby, membuatnya semakin terisak.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang