30

705 99 4
                                    

Dentuman musik menggetarkan udara, menembus hingga ke tulang-tulang Alby saat ia melangkah memasuki klub malam itu. Lampu-lampu berkelap-kelip dalam ritme yang memabukkan, menciptakan ilusi waktu yang melambat dan mempercepat secara bergantian. Aroma parfum mahal bercampur dengan bau alkohol dan keringat, menciptakan atmosfer yang begitu familiar bagi Alby—sebuah dunia yang dulu menjadi rumah keduanya.

Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kegelisahan samar yang menggelayut di sudut hatinya, mengingatkannya akan sosok yang kini menunggu di sampingnya. Juan, suaminya yang bisu, berdiri canggung di sisinya, jemarinya sedikit bergetar saat menggenggam tangan Alby. Ini adalah dunia yang asing baginya, sebuah realm yang begitu kontras dengan kehidupannya yang sederhana dan lurus.

Alby melirik Juan, merasakan kecemasan yang terpancar dari tubuh suaminya. Ia mengeratkan genggamannya, berusaha meyakinkan Juan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun jauh di lubuk hatinya, Alby pun tak yakin. Bagaimana jika seseorang mengenali mereka? Bagaimana jika rahasia pernikahan mereka terbongkar malam ini?

Mengenyahkan pikiran-pikiran itu, Alby mulai memindai ruangan. Matanya bergerak lincah, mencari sosok Rico yang sedang berulang tahun. Namun di tengah pencarian itu, sebuah sosok tak terduga menarik perhatiannya.

Di sana, di sudut bar, berdiri Naren—sosok dari masa lalunya yang sudah lama tak ia jumpai. Jantung Alby seolah berhenti sejenak. Naren, dengan senyumnya yang menawan dan aura magnetis yang selalu ia miliki, tampak tak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu.

Tanpa sadar, Alby melepaskan genggaman tangannya dari Juan. Kakinya melangkah mendekati Naren, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Juan, yang kebingungan dengan perubahan sikap Alby, hanya bisa menatap punggung istrinya yang menjauh, tertelan kerumunan orang yang menari.

"Naren!" seru Alby, suaranya nyaris tenggelam dalam hiruk pikuk musik. Namun Naren mendengarnya. Ia berbalik, dan matanya melebar melihat Alby.

"Alby?" Naren tersenyum lebar, tangannya langsung meraih Alby dalam sebuah pelukan hangat. "Ya Tuhan, sudah berapa lama?"

Alby tertawa, merasakan kehangatan familiar dalam pelukan Naren. "Terlalu lama! Sejak kapan kau kembali ke Indonesia? Kenapa tidak menghubungiku?"

Naren melepaskan pelukannya, namun tangannya masih berada di pinggang Alby. "Maaf, ponselku hilang saat di bandara. Semua kontak ikut lenyap."

Alby menyeringai jahil, jemarinya memukul pelan dada Naren. "Ayolah, zaman sekarang masih ada yang beralasan seperti itu? Kau bisa menghubungiku lewat media sosial, kan?"

Naren tertawa, suaranya dalam dan menggoda. Ia mendekatkan wajahnya, bibirnya nyaris menyentuh telinga Alby saat berbisik, "Mungkin aku sengaja tidak menghubungimu. Takut jatuh cinta lagi."

Alby merasakan wajahnya memanas, ia mendorong pelan dada Naren, berusaha menciptakan jarak. "Kau ini, masih saja suka menggoda."

Naren tersenyum misterius, lalu tanpa peringatan, ia mendaratkan sebuah kecupan ringan di pipi Alby. Sebuah gestur yang dulu biasa mereka lakukan, namun kini terasa berbeda—lebih intim, lebih berbahaya.

"Hei, kau datang dengan siapa?" tanya Naren, matanya menyapu ruangan.

Pertanyaan itu menyadarkan Alby. Juan! Bagaimana ia bisa melupakan suaminya begitu saja? Panik mulai merayapi dadanya saat ia menoleh ke belakang, mencari sosok Juan yang tadi bersamanya.

"Aku... aku datang dengan temanku," jawab Alby terbata-bata. "Tapi sepertinya kami terpisah. Aku harus mencarinya."

Naren mengangguk, meski ada kilatan aneh di matanya. "Rico ada di meja pojok atas, kalau kau mencarinya. Bersama beberapa teman lainnya."

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang