32

681 85 5
                                    

Senja mulai merambat di langit Jakarta ketika ponsel Alby bergetar di atas meja belajarnya. Layarnya menyala, menampilkan nama yang membuat jantung Alby berdegup kencang: "Ayah". Tangannya sedikit gemetar saat meraih ponsel itu. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menggeser ikon hijau di layar.

"Halo, Yah?" sapa Alby, suaranya sedikit bergetar.

"Alby," suara tegas Jonatan terdengar dari seberang. Ada nada serius yang tidak biasa dalam suaranya, membuat Alby menegakkan punggungnya secara refleks. "Besok, kau harus pulang ke rumah. Dan bawa Juan bersamamu."

Alby terdiam sejenak, mencoba mencerna permintaan ayahnya. Otaknya berputar cepat, mencari alasan di balik permintaan mendadak ini. "Ada apa, Yah? Kenapa tiba-tiba?" tanyanya hati-hati.

Terdengar helaan napas panjang dari Jonatan. "Rumor tentangmu sudah tersebar di kampus, dan sekarang sampai ke telinga keluarga besar kita. Nenek dan kakekmu ingin bertemu Juan."

Alby merasakan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Ia tahu cepat atau lambat hal ini akan terjadi, tapi ia tidak menyangka secepat ini. Bayangan wajah neneknya yang penuh tanya dan kakeknya yang selalu terlihat tegas memenuhi benaknya.

"Ba-baik, Yah. Aku akan bicara dengan Juan," jawab Alby akhirnya, suaranya terdengar lebih kecil dari yang ia inginkan.

Setelah menutup telepon, Alby terduduk lemas di kursi belajarnya. Matanya menerawang ke luar jendela, memandang langit senja yang kini dihiasi semburat oranye dan merah muda. Pikirannya berkecamuk, membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi besok.

Suara derit pintu membuyarkan lamunannya. Juan masuk ke kamar, masih mengenakan seragam kerjanya yang sedikit bernoda oli. Wajahnya yang lelah seketika berubah cerah saat melihat Alby. Ia menghampiri Alby dan menepuk pundaknya lembut.

Alby mendongak, berusaha tersenyum meski hatinya masih gelisah. Juan, dengan kepekaan yang selalu ia miliki, segera menyadari ada yang tidak beres. Ia meraih ponselnya dan mulai mengetik.

"Ada apa, Sayang? Kau terlihat cemas," suara robotik dari aplikasi text-to-speech memecah keheningan kamar.

Alby menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita ini. "Juan," ia memulai, suaranya sedikit bergetar. "Tadi Ayah menelepon. Beliau... beliau meminta kita untuk pulang ke rumah besok. Menginap."

Juan mendengarkan dengan seksama, matanya tidak lepas dari wajah Alby. Ia bisa melihat kekhawatiran yang terpancar dari mata suaminya itu.

"Rumor tentang kita... sudah sampai ke telinga keluarga besarku," lanjut Alby, suaranya semakin pelan. "Nenek dan Kakek ingin bertemu denganmu."

Juan terdiam sejenak, mencerna informasi ini. Kemudian, dengan gerakan lembut, ia menggenggam tangan Alby dan mulai mengetik dengan tangan satunya.

"Tentu, aku akan menemanimu. Kita hadapi ini bersama," suara robotik itu kembali terdengar, namun kali ini terasa lebih menenangkan di telinga Alby.

Alby merasakan sebagian beban di pundaknya terangkat. Ia memandang Juan dengan penuh rasa syukur dan cinta. "Terima kasih, Sayang. Tapi... bagaimana dengan pekerjaanmu?"

Juan tersenyum menenangkan dan kembali mengetik. "Aku akan minta izin ke bos untuk masuk setengah hari besok dan libur lusa. Jangan khawatir."

Alby mengangguk, merasa sedikit lebih lega. Namun, kekhawatiran lain mulai menghinggapinya. Bagaimana reaksi Ibu Ita dan Kak Manuel nanti?

Seolah bisa membaca pikiran Alby, Juan mengetik lagi. "Sebaiknya kita beritahu Ibu dan Kak Manuel saat makan malam nanti."

Alby mengangguk setuju. Ia bangkit dari kursinya dan memeluk Juan erat, menghirup aroma familiar campuran oli dan parfum maskulin yang selalu membuatnya merasa aman. "Aku mencintaimu," bisiknya pelan.

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang