11

1.2K 143 1
                                        

Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah-celah tirai yang usang di kamar Juan. Pemuda itu membuka matanya perlahan, membiasakan diri dengan cahaya yang menyilaukan.

Sudah seminggu berlalu sejak ia kembali dari rumah sakit, namun Juan masih belum terbiasa dengan keheningan yang menyelimuti pagi-paginya.

Dulu, ia selalu terbangun oleh suara alarm yang nyaring, terkadang diselingi dengan omelan ibunya yang menyuruhnya bergegas. Kini, hanya kesunyian yang menyambutnya.

Juan bangkit dari tempat tidurnya, kakinya masih terasa sedikit lemah. Ia meraih notes kecil dan pulpen yang selalu ia letakkan di meja samping tempat tidurnya - benda-benda yang kini menjadi perpanjangan dari suaranya yang hilang. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju cermin yang tergantung di dinding kamarnya yang sempit.

Bayangan yang terpantul di cermin masih terasa asing baginya. Bekas luka di lehernya, meski sudah mulai memudar, masih menjadi pengingat akan malam naas yang mengubah hidupnya. Juan menyentuh bekas luka itu perlahan, matanya terpejam sejenak sebelum ia menarik napas dalam-dalam. Ia membuka matanya kembali, kali ini dengan tekad yang terpancar jelas. Tangannya bergerak, menuliskan sesuatu di notes-nya: "Hari ini akan menjadi lebih baik."

Di luar kamarnya, suara-suara familiar mulai terdengar. Denting panci dan aroma kopi yang menguar menandakan ibunya, Theresia Puspita - atau yang lebih akrab dipanggil Bu Ita - sudah memulai rutinitas paginya di dapur kecil mereka. Juan tersenyum tipis, menyadari betapa keras ibunya berusaha untuk membuat segalanya terasa normal meski situasi mereka jauh dari kata normal.

Juan melangkah keluar kamar, disambut oleh senyum hangat ibunya. "Selamat pagi, sayang," sapa Bu Ita lembut, tangannya sibuk mengaduk bubur di panci.

Juan mengangguk, lalu mengetik di ponselnya. "Selamat pagi, Bu," ujar suara robotik dari aplikasi text-to-speech.

Bu Ita menatap putranya dengan campuran kasih sayang dan kekhawatiran. Meski Juan berusaha tegar, Bu Ita bisa melihat kesedihan yang tersembunyi di balik senyum putranya. "Bagaimana perasaanmu hari ini? Ada yang sakit?" tanyanya, nada cemas terselip dalam suaranya.

Juan menggeleng, lalu mengetik, "Aku baik-baik saja, Bu. Jangan khawatir." Suara robotik kembali terdengar.

Bu Ita menghela napas, tahu betul putranya sedang berusaha untuk tidak membuatnya cemas. "Baiklah, kalau begitu. Ayo sarapan dulu. Manuel sudah berangkat pagi-pagi sekali ke peternakan."

Mendengar nama kakaknya disebut, Juan teringat akan pembicaraan mereka beberapa hari lalu. Manuel telah memberitahu teman pemilik bengkel tempat Juan bekerja tentang kondisinya saat ini. Bengkel itu, tempat Juan telah bekerja selama dua tahun terakhir, kini terasa begitu jauh dan asing.

Juan duduk di meja makan kecil mereka, matanya menerawang ke luar jendela. Ia bisa melihat tetangga-tetangganya mulai beraktivitas, bersiap memulai hari mereka. Dulu, jam segini ia sudah bersiap berangkat ke bengkel, siap menghadapi hari yang penuh dengan suara deru mesin dan bau oli. Kini, ia terjebak di rumah, tak yakin kapan - atau apakah - ia bisa kembali bekerja.

Bu Ita, yang memperhatikan putranya, perlahan duduk di hadapan Juan. "Juan," panggilnya lembut, membuat Juan mengalihkan pandangannya dari jendela. "Ibu tahu kau ingin segera kembali bekerja. Tapi untuk saat ini, fokuslah dulu pada kesehatanmu, ya? Manuel sudah bicara dengan Doni di bengkel, dan mereka memberimu cuti selama yang kau butuhkan."

Juan mengangguk lemah, lalu mengetik, "Tapi Bu, bagaimana dengan kebutuhan kita? Aku tidak ingin menjadi beban." Suara aplikasi menyuarakan kekhawatirannya.

Bu Ita menggenggam tangan putranya erat. "Kau tidak pernah menjadi beban, sayang. Kita akan melewati ini bersama-sama. Lagipula, keluarga Alby sudah berjanji akan membantu kita, ingat?"

Mendengar nama Alby disebut, Juan merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Campuran antara amarah, kebingungan, dan... sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Ia hanya mengangguk pelan, tak ingin membahas lebih jauh tentang pemuda yang telah mengubah hidupnya.

Bu Ita, menyadari perubahan ekspresi putranya, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Oh ya, nanti kau ada jadwal terapi wicara, kan? Ibu sudah minta izin tidak mengajar hari ini supaya bisa menemanimu."

Juan cepat-cepat menggeleng dan mengetik di aplikasi text-to-speech, "Tidak usah, Bu. Ibu mengajar saja. Aku bisa pergi sendiri."

"Tapi sayang-"

Belum sempat Bu Ita menyelesaikan kalimatnya, suara ketukan di pintu menginterupsi mereka. Bu Ita bangkit untuk membuka pintu, sementara Juan tetap di tempatnya, bertanya-tanya siapa yang datang sepagi ini.

Ketika pintu terbuka, sosok yang muncul membuat Juan tersentak. Di sana, berdiri dengan canggung, adalah Alby. Pemuda itu terlihat berbeda dari terakhir kali Juan melihatnya di rumah sakit. Kali ini, Alby mengenakan kemeja rapi dan celana jeans, jauh dari image berandalan yang selama ini Juan bayangkan.

"Selamat pagi, Bu Ita," sapa Alby sopan. "Saya... saya datang untuk mengantar Juan ke tempat terapinya."

Bu Ita, yang awalnya terkejut, perlahan tersenyum. "Ah, Alby. Ayo, masuk dulu. Juan baru saja selesai sarapan."

Juan, yang masih terpaku di tempatnya, merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tidak siap untuk ini. Tidak siap untuk berhadapan dengan Alby, tidak dalam kondisinya yang sekarang.

Saat Alby melangkah masuk dan mata mereka bertemu, Juan bisa merasakan dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Namun, tanpa suaranya, Juan hanya bisa terdiam, berharap matanya bisa menyampaikan ribuan kata yang terperangkap dalam dirinya.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang