12

757 93 2
                                    

"Duduklah dulu, Alby," Bu Ita mempersilakan, berusaha mencairkan suasana yang tegang.

Alby duduk dengan kaku, jelas terlihat tidak nyaman berada di situasi ini. Bu Ita, yang menyadari ketegangan di antara kedua pemuda itu, memutuskan untuk menjelaskan situasinya.

"Juan," Bu Ita memanggil putranya lembut, "Alby di sini untuk menemanimu ke tempat terapi. Ibu sudah bilang akan mengantarmu, tapi kamu memaksa ibu untuk tetap mengajar, ingat?"

Juan mengangguk pelan, lalu mengetik di ponselnya: "Iya, Bu. Ibu mengajar saja. Aku bisa pergi sendiri." Suara robotik dari aplikasi menyuarakan kalimatnya.

Bu Ita tersenyum lemah, "Tapi lihat, sekarang ada Alby yang bisa menemanimu. Jadi ibu tidak perlu khawatir."

Juan menatap ibunya, lalu Alby, dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia kembali mengetik: "Baiklah. Aku akan bersiap-siap." Suara aplikasi kembali terdengar, menyuarakan keputusannya.

Saat Juan bangkit untuk ke kamarnya, Alby tidak bisa tidak memperhatikan langkah Juan yang masih sedikit tertatih. Rasa bersalah kembali menyelimuti hatinya, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa.

Bu Ita, yang melihat kecanggungan ini, mencoba membuka percakapan. "Alby," panggilnya, "terima kasih sudah mau mengantar Juan hari ini."

Alby hanya mengangguk kaku, "Sama-sama, Bu."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Bu Ita kembali ke dapur untuk membereskan sisa sarapan, sementara Alby tetap duduk di tempatnya, matanya menyapu ruangan.

Dinding yang sudah mulai mengelupas di beberapa bagian, meja makan yang sudah usang, dan beberapa foto keluarga yang terpajang di dinding - semuanya bercerita tentang kehidupan yang jauh berbeda dari yang ia kenal. Alby merasa semakin tidak nyaman, menyadari betapa berbedanya dunia Juan dari dunianya.

Tak lama kemudian, Juan kembali dari kamarnya, sudah siap dengan pakaian yang rapi. Ia membawa tas kecil berisi perlengkapan terapinya.

Bu Ita segera menghampiri Juan, merapikan kerah kemejanya dengan lembut. "Hati-hati di jalan, ya," pesannya. "Jangan lupa minum obatnya kalau terasa sakit."

Juan mengangguk, lalu menuliskan sesuatu di notes-nya: "Ibu juga hati-hati. Jangan terlalu lelah mengajar."

Bu Ita tersenyum haru, memeluk putranya erat. "Ibu akan baik-baik saja. Kau fokus saja pada terapimu."

Alby, yang menyaksikan interaksi ini, merasa seperti orang luar. Ia mulai memahami bahwa kehadirannya di sini bukan hanya tentang tanggung jawab, tapi juga tentang memasuki dunia yang sama sekali asing baginya.

Saat Juan dan Alby bersiap untuk berangkat, Bu Ita mengantar mereka hingga ke depan pintu. "Alby," panggilnya, "tolong jaga Juan, ya."

Alby, yang masih merasa canggung, hanya bisa mengangguk. "Baik, Bu," jawabnya singkat.

Dengan itu, kedua pemuda itu melangkah keluar, meninggalkan Bu Ita yang menatap kepergian mereka dengan campuran harapan dan kekhawatiran. Di benaknya, terlintas doa agar pernikahan yang akan datang ini bisa membawa kebahagiaan bagi putranya, bagi keluarganya.

Sementara itu, di jalan menuju tempat terapi, Juan dan Alby berjalan berdampingan dalam diam. Juan, yang memang pendiam terhadap orang luar keluarganya, merasa lebih nyaman dengan keheningan ini. Alby, di sisi lain, merasa semakin gelisah dengan setiap langkah yang mereka ambil.

Sepanjang perjalanan menuju tempat terapi Juan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Alby, yang biasanya percaya diri dan lantang, kini terlihat gelisah di balik kemudi. Sesekali ia melirik Juan yang duduk diam di sampingnya, ingin memulai pembicaraan namun tak tahu harus mulai dari mana.

Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Alby akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Juan," panggilnya dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, "aku... aku minta maaf." Kata-kata itu keluar dengan terbata-bata, seolah Alby harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengucapkannya.

Juan menoleh, sedikit terkejut mendengar permintaan maaf yang tiba-tiba ini. Ia hanya bisa mengangguk pelan, tak bisa menjawab karena kondisinya dan situasi mereka yang sedang di jalan.

Alby, yang melihat respon Juan dari sudut matanya, melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih tegas, berusaha menutupi kegugupannya. "Aku menerima pernikahan ini sebagai bentuk tanggung jawabku atas... yah, kau tahu. Tapi ada beberapa hal yang perlu kau tahu."

Juan mendengarkan dengan seksama, matanya tak lepas dari profil Alby yang terlihat serius.

"Setelah kita menikah nanti," Alby melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih dingin, "aku tidak mau dikekang. Kau mengerti? Dan yang lebih penting, orang-orang tidak boleh tahu tentang ini. Terutama teman-temanku."

Juan hanya bisa mengangguk lagi, meski dalam hatinya ada sedikit rasa sakit mendengar kata-kata Alby. Ia paham bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas, tapi tetap saja, mendengarnya langsung dari mulut Alby membuatnya merasa... entahlah.

Sesampainya di tempat terapi, Alby menghentikan mobilnya di area parkir. "Aku akan menunggu di sini," ujarnya, masih tidak menatap Juan secara langsung. "Setelah selesai, kau bisa langsung ke sini."

Juan mengetik di aplikasi Text-to-speech "Terima kasih" sebelum memberikan senyuman ramah pada Alby. Melihat senyuman itu, Alby segera mengalihkan pandangannya, tapi Juan sempat melihat rona merah di pipi pemuda itu.

Begitu Juan keluar dan menutup pintu mobil, Alby yang masih salah tingkah tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke setir, tepat di bagian klakson. Bunyi nyaring klakson memecah keheningan parkiran, membuat Juan yang baru saja melangkah kaget dan berbalik.

Juan membuka pintu mobil kembali, hanya untuk menemukan Alby dengan ekspresi bengong yang konyol. Melihat pemandangan itu, Juan tidak bisa menahan senyum gelinya.

Alby, yang menyadari situasi memalukan ini, langsung berseru dengan nada kesal yang dibuat-buat, "Apa lihat-lihat? Cepat sana temui terapismu!" Meski berusaha terdengar galak, rona merah di wajahnya semakin jelas terlihat.

Juan, masih dengan senyum geli di wajahnya, mengangguk dan menutup pintu mobil. Ia berjalan menuju gedung tempat terapinya berada, meninggalkan Alby yang masih berusaha menenangkan debaran jantungnya yang entah mengapa menjadi lebih cepat setelah melihat senyuman Juan.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang