Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian di malam acara ulang tahun Rico. Alby benar-benar ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia memang serius untuk berubah. Tekadnya bulat untuk meninggalkan kehidupan lamanya yang penuh dengan pesta dan kesenangan sesaat. Kini, fokusnya hanya tertuju pada satu hal: menyelesaikan studi dengan baik.
Alby mulai menata kembali prioritas hidupnya. Ia fokus pada kuliahnya, berusaha keras memperbaiki nilai-nilainya yang selama ini terbengkalai, dan memperbaiki absensinya yang buruk. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, menyiapkan diri dengan seksama, dan berangkat ke kampus dengan semangat baru.
Perubahan sikap Alby ini tak luput dari perhatian teman-teman sekelasnya. Mereka yang biasa melihat Alby sebagai sosok santai dan acuh tak acuh terhadap pelajaran, kini dibuat terheran-heran dengan perubahannya yang drastis. Bahkan saat ada tugas kelompok, Alby yang biasanya hanya numpang nama, kini aktif berkontribusi dan memberikan ide-ide cemerlang.
Seusai kuliah, Alby langsung pulang ke rumah. Ia menunggu Juan pulang dari bengkel tempatnya bekerja. Sudah jarang sekali Alby pergi keluar untuk sekedar nongkrong atau bermain bersama teman-temannya seperti dulu. Waktu luangnya kini diisi dengan belajar atau membantu pekerjaan rumah.
Siang itu, setelah kelas terakhir selesai, dosen Alby mengumumkan, "Baik, anak-anak. Kelas cukup sampai di sini. Kita lanjutkan di pertemuan berikutnya."
Alby mulai membereskan buku-bukunya, bersiap untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti ketika salah seorang temannya, Reza, menepuk pundaknya.
"Bro, mau ikut nggak? Ada kafe baru buka di dekat sini. Katanya coffee-nya enak banget," ajak Reza dengan antusias.
Alby tersenyum tipis, "Maaf, Rez. Aku harus pulang. Ada urusan penting."
Reza mengerutkan dahi, terlihat bingung. "Loh, tumben banget nolak ajakan nongkrong. Biasanya kau yang paling semangat kalau diajak main."
"Iya nih, Al. Aku perhatiin juga, selama pelajaran tadi fokus banget. Nggak kayak biasanya," tambah Dina, teman sekelas mereka yang lain.
Alby hanya tersenyum, mencoba mencairkan suasana dengan candaan, "Loh, aneh ya kalau temen kalian fokus belajar? Kok malah dicurigain?"
"Ya kalau konteksnya orang lain sih wajar," sahut Reza. "Tapi kalau kau, Al... rasanya aneh aja."
Alby tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyamannya. "Sudahlah, guys. Namanya juga orang, kan bisa berubah. Lagian, emangnya salah kalau aku mau fokus kuliah?"
Teman-temannya saling berpandangan, masih terlihat bingung dengan perubahan sikap Alby.
"Ya udah deh, aku duluan ya. Hati-hati di jalan," pamit Alby sambil melangkah keluar kelas.
Sesampainya di parkiran, Alby menghela napas panjang. Ia tahu perubahan sikapnya pasti akan mengundang pertanyaan, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini. Saat hendak menyalakan mesin mobil, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari ibu mertuanya, Bu Ita, muncul di layar.
"Alby, ibu nitip belanjaan ya. Tolong belikan santan, lada, saos kecap, dan beberapa bumbu dapur lainnya. Terima kasih."
Alby segera membalas, "Baik, Bu. Nanti Alby belikan."
Baru saja Alby hendak mematikan ponselnya, tiba-tiba notifikasi dari media sosialnya berbunyi bertubi-tubi. Penasaran, ia membuka aplikasi tersebut dan terkejut melihat apa yang terpampang di layarnya.
Akun media sosialnya sedang diserang oleh rumor dan komentar negatif. Beberapa akun anonim menyebarkan gosip bahwa Alby sudah menikah dengan seorang pria bisu. Meski ini adalah fakta, Alby tidak terlalu memusingkannya karena memang ia berniat untuk tidak lagi menyembunyikan hubungannya dengan Juan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Voiceless Ties [END]
Fanfictionshininghands September, 2024 COMPLETED ✅️ BXB! homophobic, this is not ur place. Bahasa Indonesia semi baku Alby as Hc (sub) Juan as Jn (dom) Nohyuck | Jendong -♡ Malam itu, dua dunia yang tak pernah bersinggungan mulai menari dalam orbit yang sama...