16

610 94 2
                                    

Sebulan telah berlalu, hari yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba — Hari pernikahan Alby dan Juan. Pagi itu, rumah keluarga Juan dipenuhi hiruk pikuk persiapan. Halaman depan yang biasanya sepi kini telah disulap menjadi venue pernikahan yang indah, dengan tenda putih besar menutupi area tersebut. Untungnya, jalan di depan rumah Juan bukanlah jalanan umum yang sering dilalui kendaraan, sehingga penutupan sebagian jalan untuk acara ini tidak mengganggu lalu lintas.

Bu Ita, dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, sibuk mondar-mandir mengatur segala sesuatu. Baginya, ini adalah hari besar yang harus dirayakan semeriah mungkin. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk putranya, Juan, meski keadaan tidak seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Ada secercah kesedihan di matanya, mengingat almarhum suaminya, Pak Tono, tidak bisa hadir di hari special ini. Namun, Bu Ita tetap tegar, bertekad untuk membuat hari ini sempurna demi Juan dan demi menghormati memori suaminya.

Manuel, di sisi lain, terlihat lebih pendiam dari biasanya. Matanya sesekali melirik ke arah kamar Juan, di mana adiknya itu sedang bersiap-siap. Ia juga sesekali memandang foto ayahnya yang terpajang di ruang tamu, seolah mencari kekuatan dari sosok yang kini telah tiada.

Sementara itu, di sebuah kamar tamu yang telah dialihfungsikan menjadi ruang rias, Alby duduk sendirian di depan cermin. Tidak ada MUA profesional yang merias wajahnya, hanya ada dia dan peralatan make-up sehari-harinya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai merias wajahnya sendiri, menggunakan keterampilan yang biasa ia gunakan saat hendak hangout dengan teman-temannya. Ada rasa getir yang menyusup di hatinya saat ia menyadari betapa berbedanya persiapan pernikahan ini dari apa yang selama ini ia impikan.

Di luar, tamu-tamu mulai berdatangan. Keluarga besar dari pihak Bu Ita memenuhi halaman, membawa hadiah dan ucapan selamat. Yang menarik, keluarga dari pihak almarhum Pak Tono juga hadir dalam jumlah yang cukup banyak. Meski Pak Tono telah tiada, Bu Ita berhasil mempertahankan hubungan baik dengan keluarga mendiang suaminya, dan hari ini mereka hadir untuk mendukung Juan. Beberapa teman Manuel dan Juan juga hadir, membawa suasana lebih ceria ke dalam pesta. Para tetangga pun tak ketinggalan, datang dengan rasa penasaran yang terpancar jelas di wajah mereka.

Namun, di tengah keramaian itu, ada satu hal yang mencolok — absennya keluarga besar dari pihak Alby. Hanya tiga orang yang mewakili keluarga Alby — Alby sendiri, ayahnya Jonatan, dan ibunya Gebby. Mereka duduk di pojok tenda, terlihat canggung dan tidak nyaman dengan suasana pesta yang ramai. Jonatan sesekali melirik jam tangannya, seolah menghitung waktu kapan acara ini akan berakhir. Gebby, di sisi lain, berusaha tersenyum dan menyapa beberapa tamu yang lewat, meski senyumnya terlihat dipaksakan.

Ketidakhadiran keluarga besar Alby menjadi bahan bisik-bisik di antara para tamu. Berbagai spekulasi mulai bermunculan. Ada yang menduga Alby hamil di luar nikah, sehingga pernikahan ini terpaksa digelar dengan terburu-buru. Yang lain berspekulasi bahwa keluarga Alby memiliki hutang yang sangat besar, sehingga terpaksa menikahkan anak mereka yang rupawan itu dengan Juan yang kini tidak bisa bicara.

"Kasihan sekali anak secantik itu harus menikah dengan orang yang cacat," bisik salah seorang tante Juan kepada temannya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan keluarganya."

Bisikan-bisikan itu sampai ke telinga Manuel, yang langsung merasakan darahnya mendidih. Ia ingin berteriak, memberitahu semua orang bahwa Juan menjadi bisu karena ulah Alby. Namun, ia tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Dengan mengepalkan tangan, ia berusaha menahan emosinya.

Saat pengucapan janji suci tiba, gereja hanya dipenuhi oleh keluarga Juan — baik dari pihak Bu Ita maupun keluarga almarhum Pak Tono. Alby berdiri di altar, terlihat gugup dan sedikit pucat. Juan berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya menyiratkan berbagai emosi yang berkecamuk. Saat pendeta meminta mereka mengucapkan janji, Juan mengeluarkan sebuah ponsel. Ia mengetik sesuatu, dan suara robotik dari aplikasi text-to-speech memecah keheningan gereja:

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang