17

596 89 1
                                    

Hari pertama Alby tinggal di rumah Juan dimulai dengan kejutan yang tak terduga. Setelah pernikahan yang terpaksa, keluarga Alby menawarkan untuk membeli rumah baru bagi pasangan muda ini. Namun, keluarga Juan dengan tegas menolak. Bagi mereka, Juan harus tetap tinggal di rumah yang penuh kenangan ini, dan Alby, sebagai suami, harus mengikuti ke mana suaminya tinggal.

Jam menunjukkan pukul 04.30 pagi ketika Alby merasakan sentuhan lembut di bahunya. Ia membuka mata dengan berat, hanya untuk melihat Bu Ita tersenyum hangat padanya. "Ayo, Nak. Kita ke pasar," ajak Bu Ita dengan suara pelan, berusaha tidak membangunkan Juan yang masih terlelap di kasur lipat di lantai.

Alby mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Ia tidak pernah bangun sepagi ini sebelumnya, apalagi untuk pergi ke pasar. Dengan sedikit enggan, ia bangkit dari kasur Juan yang ia tempati semalam, sementara Juan sendiri tidur di kasur lipat di lantai. Alby merasa lega tidak harus tidur di kasur lipat yang tipis itu.

Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian, Alby mengikuti Bu Ita keluar rumah. Udara pagi masih terasa dingin dan segar, membuat Alby sedikit menggigil. Mereka berjalan kaki menuju pasar yang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah.

Begitu memasuki area pasar, Alby langsung dihadapkan pada pemandangan dan suasana yang sama sekali asing baginya. Hiruk pikuk pedagang yang mulai menggelar dagangan, bau campuran antara sayuran segar, ikan, dan rempah-rempah yang begitu kuat, serta jalanan yang masih basah dan sedikit becek membuat Alby merasa tidak nyaman.

"Bu Ita, apa tidak sebaiknya kita belanja di supermarket saja?" tanya Alby ragu-ragu, matanya menyapu sekeliling dengan was-was.

Bu Ita tersenyum maklum. "Di sini lebih murah dan segar, Nak. Lagi pula, ibu sudah langganan dengan beberapa pedagang di sini."

Alby hanya bisa mengangguk, meski dalam hati ia merindukan suasana supermarket yang bersih, rapi, dan tenang. Ia terbiasa berbelanja diiringi alunan musik lembut dari speaker supermarket, bukan teriakan para pedagang yang saling bersahutan menawarkan dagangannya.

Saat Bu Ita mulai berinteraksi dengan seorang pedagang sayur, Alby terkejut mendengar cara mertuanya itu menawar harga. "Pak, tomat segini masa 30 ribu? Kemarin saja masih 25 ribu. 20 ribu ya, Pak?"

Alby merasa tidak enak. Baginya, harga yang ditawarkan pedagang sudah cukup murah. Namun, ia lebih terkejut lagi saat si pedagang akhirnya setuju dengan harga yang ditawarkan Bu Ita.

"Kok bisa, Bu?" tanya Alby penasaran saat mereka berpindah ke pedagang lain.

Bu Ita terkekeh. "Ini namanya seni menawar, Nak. Nanti lama-lama kamu juga bisa."

Meski merasa tidak nyaman dengan suasana pasar, Alby berusaha membantu sebisa mungkin. Ia menawarkan diri untuk membawa keranjang belanjaan yang semakin berat. Saat Bu Ita hendak membayar di sebuah kios, Alby dengan cepat mengeluarkan dompetnya. "Biar saya yang bayar, Bu," ujarnya.

Bu Ita tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, Nak. Terima kasih ya."

Pukul 05.30, mereka akhirnya selesai berbelanja dan kembali ke rumah. Tanpa membuang waktu, Bu Ita mengajak Alby ke dapur untuk memulai persiapan sarapan.

"Kamu biasa sarapan apa, Nak?" tanya Bu Ita sambil mulai mencuci sayuran.

Alby, yang sedang membantu mengeluarkan barang belanjaan, menjawab, "Biasanya saya hanya minum kopi atau jus, Bu. Kadang sereal atau roti panggang saja."

Bu Ita tertawa kecil mendengar jawaban Alby. "Ah, beda ya dengan kita. Di sini sarapan nasi goreng atau bubur sudah jadi kebiasaan."

Alby tersenyum canggung. "Saya bisa masak, Bu. Tapi... belum pernah masak masakan Indonesia."

"Tidak apa-apa, Nak. Nanti ibu ajari pelan-pelan," ujar Bu Ita lembut.

Mereka terus memasak sambil sesekali mengobrol ringan. Bu Ita dengan sabar menjelaskan langkah-langkah memasak nasi goreng pada Alby, yang memperhatikan dengan seksama. Alby membantu menyiapkan bahan-bahan sesuai arahan Bu Ita, seperti mengocek bawang merah dan putih, memotong sayuran, dan menyiapkan bumbu-bumbu.

Waktu menunjukkan pukul 06.45 ketika sarapan akhirnya siap. Bu Ita menoleh pada Alby. "Nak, bisa tolong bangunkan Juan? Ibu mau siapkan meja makan dulu."

Alby mengangguk dan berjalan menuju kamar Juan. Ia membuka pintu perlahan dan mendapati Juan masih terlelap di kasur lipatnya. Alby berjongkok di samping Juan, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya memanggil nama Juan pelan sambil menepuk lengannya.

"Juan... Juan... Bangun, sudah pagi," ujar Alby lembut.

Namun, Juan tidak bergeming. Alby terus mencoba membangunkannya selama beberapa menit, tapi Juan tetap tidak memberi respon. Tiba-tiba, alarm ponsel Juan berbunyi nyaring, membuat Juan tersentak bangun dan langsung duduk.

Gerakan mendadak Juan membuat kepalanya dan kepala Alby berbenturan keras. Alby menjerit pelan dan terjatuh dari posisi jongkoknya. Juan, yang baru saja tersadar sepenuhnya, langsung panik melihat Alby terjatuh.

Juan segera mendekati Alby, raut wajahnya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah. Ia memegang kedua lengan Alby, lalu dengan lembut menyingkirkan poni yang menutupi dahi Alby untuk memeriksa apakah ada luka atau kemerahan. Setelah yakin tidak ada cedera serius, Juan menghela napas lega.

Alby, yang diperlakukan dengan begitu lembut oleh Juan, hanya bisa terdiam. Ia merasakan jantungnya berdebar lebih kencang, entah karena kejutan tadi atau karena kedekatan mereka saat ini.

Keheningan itu pecah ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka. Manuel, dengan rambut acak-acakan dan mata setengah terbuka, muncul di ambang pintu. Begitu melihat pemandangan di hadapannya - Alby yang terduduk di lantai dengan Juan yang memegang lengannya - ekspresi Manuel berubah kaget.

"Hei, apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan di kamar adikku?" tanya Manuel dengan nada dingin pada Alby.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang