14

647 88 1
                                    

Sesi terapi Juan telah berakhir, dan ia melangkah keluar dari gedung dengan perasaan campur aduk. Kelelahan terasa di tubuhnya, namun ada secercah semangat yang terpancar dari matanya. Saat ia mendekati area parkir, pemandangan yang menyambutnya cukup mengejutkan.

Alby, yang seharusnya menunggu di mobil, kini berdiri di dekat pembatas antara parkiran dan taman. Sebatang rokok terselip di antara jarinya, asap putih mengepul ke udara. Yang lebih mengejutkan lagi, Alby tampak sedang berbicara dengan sangat bersemangat di telepon.

"Eh, Rico! Kau serius nih ketemu sama cewek dari dating app itu?" suara Alby terdengar keras dan penuh antusiasme. "Gila! Ceritain dong, gimana orangnya?"

Juan berhenti sejenak, terkejut mendengar cara bicara Alby yang sangat berbeda dari sebelumnya. Bahasa kasarnya mengalir dengan lancar, seolah sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

"Anjir, seksi banget dong! Sudah ajak ketemuan belum?" Alby tertawa keras. "Iya, iya, tau playboy kelas kakap mah beda. Tapi hati-hati juga. Jangan sampe kena tipu lagi kayak waktu itu."

Tiba-tiba, Alby menyadari kehadiran Juan. Matanya melebar, dan dengan cepat ia mengakhiri percakapan. "Eh, Rico, lagi ada urusan nih. Nanti disambung lagi ya. Bye!"

Alby mematikan telepon dengan tergesa-gesa, lalu berbalik menghadap Juan dengan ekspresi canggung. "Oh, sudah selesai?" tanyanya, berusaha terdengar kasual.

Juan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Alby. Namun, senyuman itu justru membuat Alby salah tingkah.

"Bisa gak jangan sering-sering senyum begitu!" seru Alby dengan nada galak yang terdengar malu-malu. Juan menatapnya dengan bingung, tidak mengerti mengapa senyumannya bisa membuat Alby bereaksi seperti itu.

"Ah, lupakan saja," gumam Alby, mengalihkan pandangannya. "Ayo masuk mobil. Kita pulang sekarang."

Tanpa banyak bicara, Juan mengikuti Alby ke mobil. Begitu mereka berdua duduk, Alby langsung menyalakan mesin.

"Cepat pasang seatbelt," perintah Alby, nada suaranya kembali terdengar dingin. "Kita langsung pulang."

Sebelum mobil melaju keluar dari area parkir, Alby menoleh sejenak ke arah Juan. "Ada barang yang mau dibeli dulu sebelum pulang?" tanyanya, sedikit nada perhatian terselip dalam suaranya.

Juan menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan bahwa ia tidak membutuhkan apa-apa.

Dengan anggukan singkat, Alby mulai mengemudikan mobil keluar dari area parkir. Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya deru mesin mobil yang memecah kesunyian. Juan menatap ke luar jendela, pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan tentang Alby dan kehidupan barunya yang akan segera dimulai.

Mobil Alby akhirnya berhenti di depan rumah Juan. Suasana sore yang tenang menyambut mereka, dengan sinar matahari yang mulai meredup di ufuk barat. Juan, dengan gerakan yang sedikit canggung, mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik pada aplikasi text-to-speech yang ia gunakan untuk berkomunikasi.

Sementara aplikasi mulai membunyikan kata-kata yang diketik Juan, mata Alby justru terpaku pada wajah pemuda di sampingnya. Ia memperhatikan setiap detail ekspresi Juan, terutama senyuman yang tak pernah luntur dari bibirnya. 'Apa dia pelanggan setia pasta pemutih gigi?' pikir Alby, tanpa sadar terpesona oleh kilauan gigi Juan.

"Mau mampir sebentar?" suara robotik dari aplikasi memecah lamunan Alby.

Tanpa benar-benar menyimak apa yang dikatakan, Alby mengangguk pelan, masih terhipnotis oleh senyuman Juan. Juan, di sisi lain, tampak terkejut melihat respon positif Alby. Dengan cepat, ia kembali mengetik di ponselnya.

"Kalau begitu, ayo turun. Sekalian aku kenalkan kamu pada kakakku," ujar aplikasi, menerjemahkan ketikan Juan.

"Hah?" Alby tersentak, baru menyadari apa yang baru saja ia setujui. "Oh, iya... iya, ayo," jawabnya gelagapan, berusaha menutupi kebingungannya.

Juan turun dari mobil dengan ringan, sementara Alby masih terdiam di kursi pengemudi. Otaknya baru mencerna apa yang baru saja terjadi. 'Apa yang sudah kulakukan?' batinnya panik. Namun, melihat Juan yang sudah berjalan menuju rumah, Alby tak punya pilihan selain mengikutinya.

Tepat saat Alby hendak melangkah keluar dari mobil, pintu rumah Juan terbuka. Manuel, kakak Juan, muncul dengan segelas kopi instan murah di tangannya. Ia tampak bersiap untuk menikmati angin sore di teras rumah ketika matanya bertemu dengan Alby.

Suasana seketika berubah tegang. Alby, dengan senyum canggung, berusaha menyembunyikan rasa takutnya. Bagaimana tidak? Ia masih ingat betul bagaimana Manuel hampir menonjoknya saat Juan masih belum sadarkan diri di rumah sakit. Di sisi lain, Manuel menatap Alby dengan pandangan datar, namun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di matanya.

Juan, yang tidak menyadari ketegangan ini, tersenyum lebar dan mengetik sesuatu di ponselnya. "Kak, ini Alby. Dia yang mengantarku terapi hari ini," ujar aplikasi text-to-speech, mewakili Juan.

Manuel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari sosok Alby. "Oh, begitu," ujarnya singkat, nada suaranya datar namun ada sedikit getaran yang menandakan ia menahan emosinya.

Alby, masih dengan senyum canggungnya, mengulurkan tangan ke arah Manuel. "Selamat sore, Kak Manuel," sapanya dengan suara yang ia usahakan terdengar ramah.

Manuel menatap tangan Alby sejenak sebelum akhirnya menjabatnya dengan enggan. "Sore," balasnya singkat.

Suasana kembali hening. Angin sore berhembus lembut, seolah berusaha meredakan ketegangan yang menyelimuti ketiga pemuda itu. Juan, yang masih belum menangkap situasi, tersenyum lebar dan mengetik lagi di ponselnya.

"Ayo masuk, Alby. Ibu pasti senang melihatmu," ujar aplikasi, menerjemahkan ketikan Juan.

Manuel berdehem, memecah keheningan. "Juan, sebaiknya kau bersih-bersih dulu," ujarnya dengan nada tegas. Lalu, ia menoleh ke arah Alby. "Aku pinjam Alby sebentar. Ada yang ingin kubicarakan dengannya."

Juan, yang masih belum menangkap situasi, hanya mengangguk. Ia kembali mengetik di aplikasi text-to-speech-nya. "Tunggu aku, oke?" suara robotik itu berkata kepada Alby.

Alby menelan ludah dengan susah payah. "O-oke," balasnya dengan intonasi gugup, jelas terlihat tidak nyaman dan takut.

Juan pun melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Alby dan Manuel sendiri di teras. Suasana kembali tegang, dengan Alby yang berdiri kaku, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Manuel.

~TBC

Rico, teman party nya alby

Rico, teman party nya alby

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang