8

652 84 0
                                    

Alby berdiri tegang di samping ranjang Juan, matanya tak lepas dari sosok yang baru saja membuka mata. Suara langkah tergesa terdengar kembali. Tepat saat pintu terbuka, keluarga Alby dan Juan muncul dengan wajah cemas.

"Ada apa, Alby?" tanya Jonatan, nada suaranya campuran antara khawatir dan curiga.

Alby berbalik, matanya bertemu dengan tatapan penuh tanya dari kedua keluarga. "Juan... dia sudah sadar," jawabnya singkat, suaranya sedikit bergetar.

Mendengar kabar itu, wajah ibu Juan seketika berubah. Air mata haru mengalir di pipinya yang kurus, senyum lega tersungging di bibirnya yang pucat. "Ya Tuhan, terima kasih," bisiknya lirih, tangannya menggenggam erat tangan Manuel.

Manuel, yang biasanya terlihat tegar, kini tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk ibunya erat, seolah ingin berbagi kelegaan yang membuncah di dadanya. "Syukurlah, Bu," ucapnya dengan suara parau.

Sementara itu, Jonatan dan Gebby saling berpandangan. Ada kilatan lega di mata mereka, namun juga setitik kekhawatiran yang tak terucap.

Tim medis segera mengambil alih, meminta semua orang untuk keluar ruangan sementara mereka memeriksa kondisi Juan. Selama beberapa menit yang terasa seperti selamanya, kedua keluarga menunggu dengan cemas di luar.

Akhirnya, pintu terbuka dan seorang dokter keluar dengan wajah serius namun tidak muram. "Keluarga Juan?" tanyanya, dan semua mengangguk. "Saya punya kabar baik. Kondisi Juan stabil dan dia sudah melewati masa kritis. Semua tanda vitalnya normal."

Hela napas lega terdengar dari semua orang. Namun, dokter itu belum selesai.

"Tapi," lanjutnya dengan nada hati-hati, "ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan. Boleh saya bicara dengan keluarga dekat Juan dulu?"

Jonatan mengangguk mengerti, lalu mengajak Gebby dan Alby untuk menunggu di ruang tunggu. Sementara itu, ibu Juan dan Manuel mengikuti dokter ke ruangannya.

Beberapa menit kemudian, ibu Juan dan Manuel kembali dengan wajah yang sulit dibaca. Ada kelegaan, namun juga kesedihan yang mendalam. Mereka kembali ke kamar Juan, diikuti keluarga Alby.

Juan sudah dalam posisi setengah duduk, matanya menatap kosong ke arah jendela. Ketika mendengar langkah kaki memasuki ruangan, ia menoleh. Matanya bertemu dengan mata ibunya, dan seketika air mata mengalir di pipinya.

Ibu Juan menghampiri putranya, memeluknya erat. Juan membuka mulutnya, ingin mengucapkan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar. Kebingungan terpancar di matanya.

Manuel, yang melihat kebingungan adiknya, menarik napas dalam sebelum berkata dengan lembut, "Juan, ada yang harus kami sampaikan."

Juan menatap kakaknya, menunggu.

"Kecelakaan itu... ada dampak yang tidak bisa dihindari," Manuel melanjutkan, suaranya bergetar. "Dokter bilang... kamu mengalami kerusakan pada pita suara. Dan... dan mereka tidak bisa memperbaikinya."

Mata Juan melebar, tangannya refleks menyentuh lehernya. Ia kembali mencoba mengeluarkan suara, tapi tetap tidak ada yang keluar. Air matanya mengalir semakin deras.

Ibu Juan menggenggam tangan putranya erat. "Maafkan ibu, Nak," isaknya. "Ibu tidak bisa melindungimu."

Juan memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam meski terasa menyakitkan. Ketika ia membuka mata, ada kilatan determinasi di sana. Ia meraih notes dan pulpen di meja samping tempat tidurnya, lalu mulai menulis.

"Tidak apa-apa, Bu," tulisnya. "Ini bukan salah siapa-siapa. Aku masih hidup, itu yang terpenting."

Melihat reaksi Juan, semua orang di ruangan itu terkejut. Mereka mengharapkan ledakan emosi, kemarahan, atau kesedihan yang meluap-luap. Tapi Juan, dengan ketenangan yang tidak wajar, justru mencoba menenangkan mereka.

Juan kembali menulis, "Aku butuh waktu untuk menerima ini. Tapi aku akan baik-baik saja. Kita akan melewati ini bersama-sama."

Air mata haru kembali mengalir di pipi ibu Juan. Ia memeluk putranya erat, kagum akan kekuatan dan kedewasaan yang ditunjukkan Juan.

Manuel mengusap kepala adiknya dengan lembut. "Kau benar. Kita akan melewati ini bersama."

Di sudut ruangan, Alby menatap pemandangan di hadapannya dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa bersalah yang menghimpit dadanya, tapi juga kekaguman yang tak bisa ia jelaskan terhadap sosok Juan. Tanpa sadar, matanya terus tertuju pada Juan, menyaksikan bagaimana pemuda itu menghadapi cobaan berat dengan ketenangan yang luar biasa.

Jonatan dan Gebby saling berpandangan, ada kilatan kagum sekaligus lega di mata mereka. Mungkin, pikir mereka, keputusan untuk menikahkan Alby dengan Juan bukanlah hal yang buruk.

Juan kembali menulis di notesnya, kali ini dengan senyum tipis di wajahnya. "Jadi, apa ada hal lain yang terlewat selama aku tidur?"

Pertanyaan itu membuat semua orang di ruangan terdiam. Mereka saling melempar pandang, tidak yakin bagaimana harus menyampaikan kabar tentang pernikahan yang telah direncanakan untuk Juan dan Alby.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang