23

606 90 1
                                    

Sejak saat itu, beberapa hari telah berlalu. Alby kembali menjalani kehidupannya yang bebas, berpesta kesana-kemari layaknya tidak ada yang berubah. Namun, di balik kebebasannya, ada satu tempat di mana ia harus mengenakan topeng yang berbeda - rumah Juan. Di sana, Alby harus berpura-pura menjadi sosok suami yang baik, meski hatinya memberontak setiap kali ia melakukannya.

Alby hanya menghabiskan waktu di rumah Juan saat malam hari, itupun hanya untuk tidur. Ia selalu berusaha pulang selarut mungkin, berharap semua orang sudah tertidur sehingga ia bisa menghindari interaksi yang tidak perlu.

Pagi hari, ia akan bangun sepagi mungkin, membantu Bu Ita menyiapkan sarapan, lalu segera pergi dengan alasan kuliah - meski sebenarnya ia hanya ingin kabur dari suasana rumah yang membuatnya tidak nyaman.

Pagi ini pun sama. Alby terbangun oleh suara lembut Bu Ita yang memanggilnya untuk membantu di dapur. Dengan enggan, ia bangkit dari kasur, melirik sekilas ke arah Juan yang masih terlelap di kasur lipatnya. Ada sebersit rasa bersalah yang muncul, tapi Alby cepat-cepat mengenyahkannya.

Di dapur, kali ini Alby yang mendapat tugas memasak, sementara Bu Ita menyiapkan bahan dan memberi instruksi. Alby berusaha fokus pada tugasnya, mencoba mengabaikan pikiran-pikiran yang terus berkecamuk di kepalanya.

Hubungannya dengan Juan masih sama - tidak ada kemajuan, tapi juga tidak ada kemunduran. Mereka hanya dua orang asing yang kebetulan tinggal di bawah atap yang sama, tanpa ada momen romantis atau kedekatan yang berarti.

Setelah sarapan, seperti biasa, semua orang bersiap untuk berangkat. Namun hari ini berbeda. Alby tidak bisa langsung pergi karena ia harus menunggu kedatangan tukang paket. Diam-diam, Alby telah memesan kasur dan dipan baru untuk kamarnya dengan Juan.

Awalnya ia berniat membeli ukuran super king, tapi mengingat kamar Juan yang hanya berukuran 3x4 meter persegi, akhirnya ia memutuskan untuk membeli ukuran king saja.

Alby tidak mau mengakuinya, tapi sebenarnya ia merasa kasihan melihat Juan yang beberapa kali menahan sakit di pinggangnya karena tidur di kasur lipat. Meski begitu, Alby terlalu gengsi untuk menunjukkan kekhawatirannya secara langsung. Ia juga memutuskan untuk sekalian merenovasi kamar, mengganti beberapa ornamen dan barang-barang yang menurutnya sudah tidak matching atau terlalu tua.

Semua ini dilakukan tanpa sepengetahuan Juan. Meski begitu, Alby tetap menyimpan barang-barang lama Juan di halaman belakang rumah. Entah mengapa, ada bagian dari dirinya yang tidak tega untuk langsung membuang barang-barang itu. Mungkin saja ada kenangan atau nilai sentimental yang terkandung di dalamnya, pikir Alby.

Tak lama kemudian, orang-orang suruhan Alby datang. Tiga pria dewasa mulai membongkar kamar, sementara Alby hanya memantau dari jauh. Selang beberapa menit, mobil pengangkut barang pesanan Alby tiba. Satu per satu, barang-barang baru mulai diangkut dan disusun ke dalam kamar. Kasur baru, dipan, lemari, meja, bahkan AC - ya, Alby benar-benar tidak tahan dengan panasnya kamar Juan yang hanya mengandalkan kipas angin tua.

Ketika semua sudah tersusun rapi, Alby memandangi hasil kerjanya dengan puas. Kamar itu kini terlihat jauh lebih modern dan nyaman. Namun, ada sedikit kekhawatiran yang muncul di benaknya. Bagaimana reaksi Juan nanti? Akankah ia senang atau justru marah karena Alby mengubah kamarnya tanpa izin?

Alby melirik jam tangannya. Hari sudah menjelang sore dan satu jam lagi Bu Ita akan pulang ke rumah. Dengan cepat, Alby bersiap-siap untuk pergi. Ia baru sadar bahwa Bu Ita itu cerewet dan suka menyuruh-nyuruh. Bisa gawat kalau Bu Ita pulang dan melihatnya masih di rumah.

Secepat kilat, Alby meninggalkan rumah dan bergegas menuju mobilnya. Begitu masuk ke dalam mobil, tanpa pikir panjang ia langsung mematikan ponselnya. Ia tidak ingin keluarga Juan bisa menghubunginya. Hari ini ia akan berpesta, dan jika memungkinkan, ia berniat untuk menginap di apartemen Rico.

Mobil Alby melaju meninggalkan rumah Juan. Sepanjang perjalanan, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa lega bisa kembali ke kehidupannya yang bebas. Namun di sisi lain, ada perasaan aneh yang mengganggunya. Mengapa ia repot-repot membeli kasur baru untuk Juan? Mengapa ia menyimpan barang-barang lama Juan alih-alih membuangnya?

Alby menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Ia menyalakan musik keras-keras, berharap suara bising itu bisa meredam suara hatinya yang mulai mempertanyakan tindakan-tindakannya.

Sesampainya di apartemen Rico, Alby disambut dengan pelukan hangat sahabatnya itu. "Hei, by! Akhirnya datang juga!" seru Rico dengan cengiran lebar.

Alby membalas senyuman Rico, meski tidak sepenuh hati. "Yah, kau tahu lah. Aku butuh sedikit hiburan," ujarnya sambil masuk ke dalam apartemen.

Di dalam, suasana pesta sudah mulai terasa. Musik keras menghentak-hentak, bau alkohol dan asap rokok memenuhi udara. Beberapa teman Alby sudah ada di sana, menyambutnya dengan sorakan riang.

"Nih, minum dulu," Rico menyodorkan segelas minuman keras pada Alby. Tanpa pikir panjang, Alby meneguknya dalam sekali tenggak. Rasa panas langsung menjalar di tenggorokannya, tapi ia menyukainya. Rasa ini familiar, rasa ini mengingatkannya pada kehidupannya yang dulu - kehidupan yang bebas tanpa ikatan.

Pesta berlangsung liar. Alby minum, menari, tertawa bersama teman-temannya. Untuk sesaat, ia bisa melupakan semua beban dan kebingungan yang ia rasakan. Di sini, ia bisa menjadi Alby yang dulu - Alby yang tidak peduli pada apa pun selain kesenangan sesaat.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang