6

730 74 1
                                    

Di ruang rawat inap Juan, suasana tegang masih terasa. Manuel berdiri di dekat jendela, matanya menatap kosong ke arah lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan. Ibu Juan duduk di sisi ranjang, tangannya tak lepas menggenggam tangan Juan yang masih tak sadarkan diri.

"Bu," Manuel memecah keheningan, suaranya parau. "Apa yang harus kita lakukan?"

Ibu Juan mengangkat wajahnya, matanya sembab karena menangis. "Entahlah, Nak. Ibu... ibu bingung."

Manuel berbalik, menatap ibunya dengan pandangan frustrasi. "Kita tidak bisa menerima tawaran mereka begitu saja, Bu. Itu gila! Menikahkan Juan dengan... dengan orang yang telah menghancurkan hidupnya?"

Ibu Juan menghela napas berat. "Tapi Nak, coba pikirkan. Dengan kondisi Juan sekarang..." Suaranya tercekat. "Siapa yang akan mau menikah dengannya nanti? Dan biaya perawatannya? Kita bahkan belum melunasi hutang-hutang kita."

"Tapi Bu, apa itu adil untuk Juan? Dia bahkan belum sadar! Kita tidak bisa memutuskan masa depannya seperti ini," bantah Manuel.

Ibu Juan terdiam sejenak, matanya kembali menatap wajah pucat Juan. "Mungkin... mungkin ini kesempatan terbaik untuk Juan, Nak. Mereka punya uang, bisa memberikan perawatan terbaik untuk adikmu."

Manuel mengacak rambutnya frustasi. "Tapi Bu, apa itu cukup? Apa uang bisa menggantikan suara Juan?"

Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara monoton dari alat-alat medis yang terdengar.

"Kita... kita bisa minta pendapat Juan saat dia sadar nanti," usul ibu Juan akhirnya, suaranya lemah. "Tapi Nak, kita harus realistis. Kehidupan kita, kehidupan Juan, tidak akan pernah sama lagi setelah ini."

Manuel mengangguk pelan, wajahnya terlihat lelah. "Baiklah, Bu. Kita tunggu Juan sadar. Tapi aku tetap tidak setuju dengan ide ini."

Ibu Juan hanya bisa mengangguk lemah, tangannya kembali menggenggam erat tangan Juan. Dalam hati, ia berdoa agar putranya segera sadar dan bisa memberi jawaban atas dilema berat yang kini menghimpit keluarga mereka.

Tiga hari berlalu sejak kecelakaan naas itu terjadi. Ruang rawat inap Juan yang semula dipenuhi ketegangan kini diselimuti keheningan yang menyesakkan. Hanya suara monoton dari alat-alat medis yang memecah kesunyian, seolah menjadi pengingat tak henti akan kondisi Juan yang tak kunjung membaik.

Ibu Juan duduk di kursi samping ranjang putranya, matanya yang sembab tak pernah lepas dari wajah pucat Juan. Tangannya yang keriput menggenggam erat jemari Juan yang dingin, seolah dengan kekuatan cintanya ia bisa menarik Juan kembali ke alam sadar. Sesekali, bibirnya bergetar mengucapkan doa-doa lirih, memohon pada Yang Maha Kuasa untuk kesembuhan putranya.

Manuel berdiri di dekat jendela, matanya menerawang jauh ke arah kota yang mulai diselimuti senja. Pikirannya berkecamuk, antara amarah yang masih membara dan kecemasan yang semakin menghimpit. Sesekali, ia melirik ke arah ibunya, melihat bagaimana wanita yang selama ini menjadi pilar kekuatan keluarganya kini terlihat begitu rapuh dan putus asa.

Ketika seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisi Juan, ibu Juan mengangkat wajahnya dengan penuh harap. Namun, gelengan pelan dari sang perawat kembali menghancurkan harapan yang baru saja tumbuh. Air mata kembali mengalir di pipinya yang sudah basah, isakan pelan lolos dari bibirnya yang pucat.

Setelah perawat itu pergi, ibu Juan perlahan bangkit dari kursinya. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju Manuel. Tangannya yang gemetar menyentuh lengan putranya, membuat Manuel menoleh.

"Nak," ujarnya dengan suara serak, "Ibu rasa... kita harus bicara dengan keluarga Alby."

Manuel mengerutkan dahinya, "Maksud Ibu?"

Ibu Juan menarik nafas dalam, matanya kembali melirik ke arah Juan yang terbaring diam. "Mungkin... mungkin tawaran mereka adalah yang terbaik untuk Juan sekarang."

"Tapi Bu," Manuel hendak protes, namun ibu Juan mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata putranya.

"Ibu tahu ini berat, Nak. Tapi lihat adikmu," suaranya bergetar menahan tangis. "Kita tidak tahu kapan dia akan sadar."

Manuel terdiam, matanya berkaca-kaca melihat kesedihan yang terpancar dari wajah ibunya. Ia tahu betul perjuangan ibunya selama ini, dan melihatnya begitu putus asa membuat hatinya ikut teriris.

"Baiklah, Bu," akhirnya Manuel berkata pelan, meski ada keengganan dalam suaranya. "Kita akan bicara dengan mereka."

Ibu Juan mengangguk lemah, lalu berjalan menuju tasnya untuk mengambil ponsel. Dengan tangan gemetar, ia mencari nomor yang ditinggalkan Jonatan beberapa hari lalu. Sebelum menekan tombol panggil, ia memejamkan mata sejenak, seolah mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa dalam dirinya.

Sementara itu, di kediaman mewah keluarga Alby, Jonatan sedang duduk di ruang kerjanya ketika ponselnya berdering. Melihat nomor asing di layar, alisnya terangkat penasaran. "Halo?" jawabnya dengan nada formal.

"Selamat sore, Pak Jonatan," suara wanita di seberang terdengar lemah namun tegas. "Ini ibu Juan. Saya... saya ingin membicarakan tentang tawaran Bapak waktu itu."

Jonatan seketika menegakkan punggungnya, matanya berkilat penuh minat. "Ah, ya. Tentu, Bu. Bagaimana kalau kita bertemu di rumah sakit satu jam lagi?"

Setelah pembicaraan singkat itu berakhir, Jonatan bergegas menuju kamar Gebby. "Sayang, bersiap-siaplah. Kita akan ke rumah sakit."

Gebby yang sedang membaca buku di tempat tidur mengangkat wajahnya, alisnya terangkat heran. "Ada apa?"

"Pihak keluarga Juan," jawab Jonatan singkat, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Mereka ingin bicara."

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang