40

582 104 42
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Alby berdiri di depan cermin, merapikan toga dan memeriksa kembali penampilannya. Ia seharusnya merasa bahagia, tapi ada kekosongan yang tak bisa ia pungkiri. Juan tidak ada di sini.

Pikirannya melayang ke malam sebelumnya. Malam yang seharusnya menjadi momen bahagia menjelang wisuda, justru terasa begitu berat.

---Flashback---

Alby berbaring membelakangi Juan, matanya terbuka menatap dinding. Ia bisa merasakan kehadiran Juan di belakangnya, tapi entah mengapa jarak di antara mereka terasa begitu jauh.

Tiba-tiba, suara robotik memecah keheningan. "Alby, apa kamu sudah tidur?"

Alby tetap diam, meski hatinya bergetar mendengar suara itu. Ia tahu Juan sedang berusaha berkomunikasi dengannya melalui aplikasi text-to-speech, tapi Alby masih belum siap untuk merespon.

Juan menunggu sejenak, berharap akan ada jawaban. Ketika hanya kesunyian yang menyambutnya, ia mengetik lagi.

"Alby, aku tahu kamu mungkin masih terjaga. Ada yang perlu kusampaikan."

Alby menahan napas, menunggu kelanjutan kata-kata Juan.

"Maafkan aku, Alby. Besok adalah hari wisudamu, tapi... aku tidak bisa hadir."

Kata-kata itu menghantam Alby seperti pukulan telak. Ia merasakan matanya mulai basah, tapi tetap berusaha untuk tidak bergerak.

"Aku harus menghadiri event di luar negeri sebagai perwakilan perusahaan. Aku sudah mencoba menolak, tapi... aku tidak bisa."

Alby tidak tahan lagi. Ia bangkit tiba-tiba, berbalik menghadap Juan dengan air mata yang sudah tak terbendung.

"Kenapa, Juan?" suaranya bergetar. "Kenapa selalu seperti ini? Sejak kita pindah ke apartemen ini, sejak kamu bekerja di perusahaan itu, kamu tidak pernah punya waktu untukku!"

Juan terkejut melihat reaksi Alby. Ia ingin meraih ponselnya untuk mengetik, tapi Alby sudah lebih dulu menghambur ke arahnya, memukul dadanya dengan frustasi.

"Apa pekerjaanmu lebih penting dariku? Apa uang lebih berharga dari momen-momen kita?" Alby terus memukul, meski pukulannya tidak menyakitkan Juan secara fisik.

Juan hanya bisa memeluk Alby erat, berusaha menenangkannya. Ia ingin menjelaskan, ingin meminta maaf, tapi tangannya terkunci dalam pelukan, tak bisa mengetik apa-apa.

Alby terisak dalam pelukan Juan, melepaskan semua kekecewaan dan kesedihan yang telah ia pendam selama ini. Juan hanya bisa mengeratkan pelukannya, berharap gestur ini bisa menyampaikan apa yang tidak bisa ia katakan.

---Kembali ke Masa Kini---

Alby mengerjapkan mata, mengusir kenangan malam itu. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Hari ini adalah hari pentingnya, dan ia bertekad untuk menikmatinya, dengan atau tanpa Juan.

Di aula universitas, suasana penuh kegembiraan dan haru. Para wisudawan berbaris rapi, menunggu giliran mereka dipanggil. Alby berdiri di antara teman-temannya, matanya sesekali melirik ke arah kursi tamu, berharap mungkin, hanya mungkin, Juan akan muncul di sana.

Nama Alby dipanggil. Ia melangkah ke atas panggung dengan tegap, menerima ijazahnya dengan senyum lebar. Dari kejauhan, ia bisa melihat keluarganya - Kak Manuel, Ibu Ita, Ayah Jonatan, Mama Gebby, Nenek Mira, dan Kakek Hendra - berdiri dan bertepuk tangan dengan bangga.

Setelah upacara selesai, Alby berlari ke arah keluarganya. Mereka langsung mengerumuninya, memberikan pelukan dan ucapan selamat.

"Anak Ibu sudah sarjana sekarang!" seru Ibu Ita, air mata haru mengalir di pipinya.

"Selamat ya, Dek. Kakak bangga sama kamu," ujar Kak Manuel, menepuk pundak Alby.

Ayah Jonatan memeluk Alby erat. "Ayah tahu kamu bisa melakukannya, Nak. Selamat!"

Mama Gebby menyodorkan sebuket bunga besar. "Ini untuk anak Mama yang paling pintar!"

Nenek Mira dan Kakek Hendra bergantian memeluk Alby, membisikkan kata-kata pujian dan doa.

Di tengah kebahagiaan itu, Alby merasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Juan:

"Selamat atas kelulusanmu, sayang. Aku sangat bangga padamu. Maafkan aku tidak bisa ada di sana. Aku mencintaimu."

Alby menatap pesan itu lama, perasaannya campur aduk. Ia ingin marah, ingin kecewa, tapi di saat yang sama, ia juga merindukan Juan.

"Ayo, Alby, kita foto bersama!" ajak Kak Manuel, membuyarkan lamunan Alby.

Mereka semua berkumpul, dengan Alby di tengah. Kak Manuel menyiapkan kamera di tripod, mengatur timer.

"Siap semua? Satu... dua... tiga!"

Blitz kamera menyala, mengabadikan momen bahagia itu. Alby tersenyum lebar, dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Di tangannya, buket bunga pemberian keluarga tergenggam erat.

Foto itu akan menjadi kenangan indah, tapi Alby tak bisa memungkiri ada sedikit kesedihan di matanya. Satu orang yang seharusnya ada di sana, absen dari momen penting ini.

Setelah sesi foto selesai, keluarga memutuskan untuk makan bersama di restoran favorit Alby. Sepanjang perjalanan dan selama makan, mereka terus mengobrol dan tertawa, merayakan pencapaian Alby.

Namun di tengah keramaian itu, Alby sesekali melirik kursi kosong di sampingnya. Kursi yang seharusnya ditempati Juan. Ia berusaha keras menikmati momen ini, tapi ada bagian dari hatinya yang terus bertanya-tanya, apakah hubungannya dengan Juan masih bisa diperbaiki?

Malam itu, kembali ke apartemen yang sepi, Alby duduk di tepi tempat tidur. Ia memandangi foto wisuda yang baru saja dicetak. Semua orang tersenyum bahagia, tapi Alby bisa melihat kesedihan samar di matanya sendiri.

Ia meraih ponselnya, membuka pesan dari Juan sekali lagi. Jarinya bergerak di atas keyboard, mengetik balasan:

"Terima kasih, Juan. Aku juga mencintaimu. Tapi kita perlu bicara saat kamu pulang nanti."

Alby menekan tombol kirim, lalu berbaring di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan tentang masa depan hubungan mereka. Apakah mereka bisa melewati fase sulit ini? Apakah cinta mereka cukup kuat?

Dengan helaan napas panjang, Alby memejamkan mata. Hari ini adalah hari kelulusannya, pencapaian besar dalam hidupnya. Tapi entah mengapa, rasanya ada yang kurang. Ia berharap, suatu hari nanti, ia dan Juan bisa merayakan momen-momen penting dalam hidup mereka bersama-sama lagi, tanpa jarak dan kesibukan yang memisahkan.

~ END ~

Butuh Epilog tidak? 

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang