34

610 106 7
                                    

Begitu pintu terbuka, aroma wangi masakan khas Indonesia bercampur dengan wewangian mahal yang mengisi udara. Di ruang tamu yang megah, Kakek Hendra dan Nenek Mira sudah menunggu, duduk berdampingan di sofa kulit Italia yang tampak lebih berharga dari seluruh isi rumah Juan dan Alby. Kakek Hendra, dengan posturnya yang tegap dan tatapan tajam yang menusuk, bangkit perlahan. Bahkan di usia 70 tahun, auranya masih memancarkan kekuasaan yang membuat Juan menelan ludah dengan gugup.

"Selamat datang," suara Kakek Hendra bergema di ruangan, dingin dan penuh otoritas. "Jadi, ini Juan yang kalian bicarakan?"

Juan membungkuk canggung, tangannya yang sedikit berkeringat menggenggam ponsel erat-erat. Alby di sampingnya terlihat pucat, tapi berusaha tersenyum. Jonatan melangkah maju, "Ya, Ayah. Ini Juan, suami Alby."

"Suami?" Nenek Mira mendengus pelan, bangkit dengan anggun dari sofanya. Gaun malamnya yang elegan berdesir saat ia menghampiri Juan, mengamatinya seperti mengamati serangga di bawah mikroskop. "Seingatku, kami tidak pernah diundang ke pernikahan apapun."

Juan berusaha mengetik di ponselnya, tapi tangannya gemetar, membuat ia harus menghapus dan mengetik ulang beberapa kali. Ketika akhirnya suara robotik memecah keheningan, ada jeda canggung yang membuat semua orang merasa tidak nyaman: "Se-selamat malam, Pak, Bu. Saya... Juan."

"Dan kamu bekerja di bengkel?" tanya Nenek Mira, alisnya terangkat tinggi. Sebelum Juan bisa menjawab, ia menambahkan, "Jonatan, bukankah kamu bilang dia tidak bisa bicara? Bagaimana bisa cucu kita menikah dengan seseorang yang bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan normal?"

"Mama!" Gebby mencoba menengahi, tapi Nenek Mira mengangkat tangannya, membungkam Gebby seketika.

"Mari kita ke ruang makan," Kakek Hendra memotong situasi yang semakin canggung. "Kita bisa melanjutkan... diskusi ini sambil makan malam."

Di ruang makan yang diterangi chandelier kristal, para pelayan berseragam formal mulai menghidangkan makanan. Juan, yang terbiasa makan di warung sederhana atau di bengkel, tampak kebingungan dengan banyaknya peralatan makan di hadapannya. Ia mengambil garpu yang salah untuk sup, membuat Nenek Mira berdehem keras dan melirik tajam.

"Juan," suara Kakek Hendra memecah keheningan, "aku dengar kamu bertemu Alby karena sebuah... kecelakaan?"

Juan hampir menjatuhkan sendoknya, membuat suara denting yang mengganggu. Dengan tangan gemetar, ia mengetik: "Be-benar, Pak. Saya..."

"Dia menyelamatkanku, Kek," Alby memotong cepat, tapi suaranya terdengar lemah di bawah tatapan tajam kakeknya.

"Oh? Benarkah?" Nenek Mira tersenyum dingin. "Bukankah yang kudengar justru sebaliknya? Bahwa Alby yang membuat Juan seperti ini?"

Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Juan tanpa sengaja menyenggol gelas anggurnya, menumpahkan sedikit isinya ke taplak meja putih yang tampak mahal. Wajahnya memucat saat beberapa pelayan bergegas membersihkan.

"Maaf... maafkan saya," suara robotik dari ponselnya terdengar lebih menyedihkan dari biasanya.

"Sudah kuduga," Nenek Mira menghela napas dramatis. "Gebby, Jonatan, kalian yakin ini pilihan yang tepat untuk Alby? Seseorang yang bahkan tidak bisa makan dengan benar di meja makan?"

"Mama, tolong," Gebby mencoba lagi, tapi suaranya terdengar lelah. "Juan orang baik. Dia..."

"Orang baik?" Kakek Hendra memotong, suaranya rendah tapi mengancam. "Di dunia kita, Gebby, 'baik' saja tidak cukup. Apa yang akan dikatakan media jika tahu cucu ku menikah dengan seorang montir bisu? Apa yang akan terjadi pada karier Jonatan?"

Alby bangkit tiba-tiba, kursinya berderit keras di lantai marmer. "Kakek, Nenek, aku mohon. Juan mungkin tidak sempurna, tapi dia..."

"Duduk, Alby," perintah Kakek Hendra, dan Alby langsung terduduk kembali, seperti boneka yang dipotong talinya.

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang