19

623 92 3
                                    

Setelah semua orang berangkat, Alby berdiri di depan pintu, memutar kunci baru yang kemarin diberikan Bu Ita. Kunci itu terasa asing di tangannya, sebuah pengingat bahwa ia kini bagian dari keluarga ini. Dengan helaan napas panjang, ia mengunci pintu dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman.

Begitu masuk ke dalam Audi R8 miliknya, Alby merasakan kenyamanan yang familiar. Mobil sport mewah ini adalah salah satu hal yang masih menghubungkannya dengan kehidupan lamanya. Ia menyalakan mesin dan mulai berkendara, melewati jalanan yang mulai ramai oleh aktivitas pagi.

Saat melewati bengkel tempat Juan bekerja, Alby memperlambat laju mobilnya. Ia bisa melihat Juan dari kejauhan, sedang membungkuk di atas mesin mobil. Untuk sesaat, Alby merasa ingin berhenti dan menyapa, namun ia mengurungkan niatnya. Dengan cepat, ia menginjak gas dan melaju meninggalkan area bengkel.

"Apa yang kau pikirkan, Alby?" ia berbicara pada dirinya sendiri, frustrasi terdengar jelas dalam suaranya. "Kau bukan benar-benar bagian dari keluarga itu. Ingat rencanamu."

Sambil terus mengemudi, Alby mulai mengeluarkan semua kekesalan yang ia tahan sejak pagi.

"Berani-beraninya Bu Ita membangunkanku sepagi itu hanya untuk ke pasar! Apa dia pikir aku ini pembantu?" gerutunya. "Dan kenapa pula aku harus membantu memasak?"

Pikirannya kemudian beralih ke Manuel. "Dan si Manuel itu... berani sekali dia mengancamku! Memangnya dia pikir siapa dirinya? Kalau bukan karena perjanjian sialan ini, aku sudah..."

Alby menghentikan ucapannya, menyadari bahwa kemarahannya tidak akan mengubah situasi. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Tenang, Alby. Ini hanya sementara. Kau bisa melewati ini."

Tak lama kemudian, Alby tiba di sebuah kafe yang menjadi tempat nongkrong favoritnya dengan teman-teman kuliah. Ia memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam kafe. Beberapa temannya sudah berkumpul di sudut ruangan yang biasa mereka tempati.

"Hei, Alby! Akhirnya kau datang juga!" sapa salah satu temannya, Yoga.

Alby tersenyum lebar, topeng yang ia pakai di rumah Juan kini telah lepas sepenuhnya. "Tentu saja aku datang. Mana mungkin aku melewatkan waktu bersantai dengan kalian?"

Ia duduk dan segera bergabung dalam obrolan. Mereka membicarakan berbagai hal, mulai dari gosip terbaru di kampus hingga game online yang sedang populer. Alby merasa lega bisa kembali menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura atau menjaga sikap.

"Ngomong-ngomong, Alby," ujar Kayana, salah satu teman perempuannya. "Bukannya hari ini ada kelas Pak Budi? Kau tidak masuk?"

Alby tertawa ringan. "Ah, bodo amat dengan kelas Pak Budi. Lagipula, nilai-nilaiku sudah terlanjur hancur. Satu absen lagi tidak akan membuat perbedaan."

Teman-temannya tertawa mendengar jawaban Alby. Mereka semua tahu bahwa Alby sudah jauh tertinggal dalam studinya. Seharusnya mereka sudah fokus pada skripsi, tapi Alby masih harus mengulang banyak mata kuliah.

"Kau ini, Alby," komentar Yoga. "Kalau begini terus, kapan kau lulus?"

Alby hanya mengangkat bahu. "Lulus atau tidak, toh masa depanku sudah terjamin. Lagipula..." ia terdiam sejenak, hampir keceplosan tentang pernikahannya dengan Juan. "...lagipula aku masih muda. Masih banyak waktu untuk memikirkan masa depan."

Mereka melanjutkan obrolan sambil menikmati kopi dan bermain game di ponsel masing-masing. Alby merasa nyaman berada di sini, di antara teman-teman yang tidak menuntut apa-apa darinya, yang menerima dia apa adanya.

Namun, di tengah tawa dan candaan, pikiran Alby sesekali melayang ke Juan. Ia teringat senyum lembut Juan tadi pagi, dan bagaimana Juan memperlakukannya dengan hati-hati setelah insiden benturan kepala. Alby menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran itu.

Setelah beberapa jam berlalu, Alby pamit kepada teman-temannya. "Aku ada janji dengan Rico," jelasnya. "Kalian tahu lah, urusan biasa."

Teman-temannya mengangguk paham. Mereka tahu Rico adalah teman party Alby, meski mereka tidak pernah bertemu langsung.

Alby kembali ke mobilnya dan melaju menuju apartemen Rico. Sepanjang perjalanan, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia masih bisa menikmati hidupnya seperti dulu, bahwa pernikahannya dengan Juan tidak akan mengubah apa-apa.

Sesampainya di apartemen Rico, Alby menekan bel. Namun, yang membuka pintu bukanlah Rico, melainkan seorang perempuan yang tidak ia kenal. Perempuan itu hanya mengenakan kemeja kebesaran, rambutnya acak-acakan.

"Siapa?" tanya perempuan itu dengan nada tidak ramah.

Sebelum Alby sempat menjawab, Rico muncul di belakang perempuan itu. "Oh, Alby! Masuk, masuk!"

Alby melangkah masuk, sementara Rico berbicara pelan dengan perempuan itu. Alby bisa mendengar Rico menyebutkan sejumlah uang, dan tak lama kemudian, perempuan itu mengambil tasnya dan bergegas keluar.

Namun, sebelum pergi, perempuan itu menarik Rico ke dalam ciuman yang panas. Alby memalingkan wajahnya, merasa tidak nyaman menyaksikan adegan itu. Entah mengapa, pikirannya malah melayang ke Juan. Bagaimana rasanya mencium Juan? Apakah bibirnya selembut yang ia bayangkan?

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang