15

633 88 3
                                    

Sepeninggal Juan, suasana di teras rumah menjadi semakin tegang. Manuel menatap Alby dengan tatapan tajam, sementara Alby berusaha mati-matian untuk tidak menunjukkan kegugupannya. Angin sore yang berhembus lembut seolah kontras dengan atmosfer yang tercipta di antara mereka berdua.

"Dengar baik-baik, Alby," Manuel memulai, suaranya rendah dan mengancam. "Aku tidak peduli dengan perjanjian konyol yang dibuat oleh keluargamu dan ibuku. Bagiku, kau tetaplah orang yang telah menghancurkan hidup adikku."

Alby menelan ludah dengan susah payah, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Aku mengerti perasaanmu, Kak. Aku—"

"Kau tidak mengerti apa-apa!" potong Manuel, nada suaranya meninggi. "Kau tidak tahu betapa keras Juan bekerja selama ini. Kau tidak tahu betapa ia selalu memikirkan keluarga ini di atas dirinya sendiri. Dan kau... dalam sekejap, kau menghancurkan segalanya."

Alby terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia sadar bahwa apapun yang ia katakan saat ini tidak akan mengubah pandangan Manuel terhadapnya.

Manuel mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Dengar, Alby. Aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu atas apa yang telah kau lakukan pada Juan. Tapi karena ibuku dan Juan sepertinya sudah menerima situasi ini, aku akan mencoba untuk menoleransi keberadaanmu."

"Terima kasih, Kak. Aku berjanji akan—"

"Aku belum selesai," potong Manuel lagi. "Ada beberapa hal yang harus kau ingat baik-baik. Pertama, jaga sikapmu. Jangan pernah, sekalipun, membuat Juan merasa tidak nyaman atau terbebani. Kedua, jangan pernah membuatnya repot mengurusmu. Juan sudah cukup menderita, ia tidak perlu tambahan beban darimu."

Alby mengangguk pelan. "Aku mengerti, Kak. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyusahkan Juan."

"Bagus," ujar Manuel. "Dan satu hal lagi. Jika aku melihat sedikit saja tanda-tanda kau menyakiti Juan, baik secara fisik maupun mental, aku tidak akan segan-segan menghajarmu. Mengerti?"

"Mengerti, Kak," jawab Alby, suaranya sedikit bergetar. "Aku berjanji akan menjaga Juan sebaik mungkin."

Tepat saat pembicaraan mereka selesai, pintu rumah terbuka. Bu Ita muncul dengan senyum ramah di wajahnya. "Lho, Alby? Kok tidak masuk? Ayo, masuk dulu."

Alby dan Manuel saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya Alby tersenyum canggung ke arah Bu Ita. "Ah, iya, Bu. Terima kasih."

Bu Ita mengantar Alby masuk ke dalam rumah, sementara Manuel memilih untuk tetap di teras, masih dengan segelas kopi di tangannya. Di dalam, Bu Ita sibuk menyiapkan segelas es sirup untuk Alby.

"Duduklah, Nak," ujar Bu Ita sambil meletakkan gelas berisi es sirup di hadapan Alby. "Bagaimana tadi? Lancar mengantarkan Juan?"

Alby mengangguk sopan. "Iya, Bu. Semuanya lancar."

Bu Ita tersenyum lembut. "Syukurlah. Terima kasih ya, sudah mau menemani Juan. Ibu tahu ini pasti tidak mudah untukmu."

Alby terdiam sejenak, tidak yakin harus merespon seperti apa. Bu Ita, yang menangkap kecanggungan Alby, melanjutkan, "Kau tahu, Alby, Juan itu anak yang sangat baik. Sejak kecil, dia selalu memikirkan keluarga di atas dirinya sendiri."

Bu Ita mulai bercerita tentang keluarganya. Ia menceritakan bagaimana ia bekerja sebagai guru honor di SD kecil dekat rumah, sementara suaminya dulu bekerja mengurus ternak di peternakan milik orang lain.

"Pak Tono, ayah Juan dan Manuel, adalah orang yang sangat pekerja keras," ujar Bu Ita, matanya menerawang jauh. "Tapi sayang, beliau sering sakit. Harus sering cuci darah dan bolak-balik rumah sakit."

Alby mendengarkan dengan seksama, mulai memahami latar belakang keluarga Juan yang jauh berbeda dari keluarganya sendiri.

"Karena kondisi Pak Tono, kami sering harus meminjam uang ke bos tempat suami saya bekerja," lanjut Bu Ita. "Itu masa-masa yang sangat sulit bagi kami."

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang