Jam dinding di ruang tamu berdetak lambat, seolah mengejek kecemasan yang memenuhi rumah kecil itu. Ibu Juan mondar-mandir, sesekali melirik ke arah pintu, berharap setiap saat Juan akan melangkah masuk dengan senyum lebarnya yang khas. Tapi pintu itu tetap tertutup, dan kesunyian malam semakin mencekam.
"Sudah empat jam lebih," gumam ibu Juan, suaranya bergetar. "Tidak biasanya dia terlambat pulang seperti ini."
Manuel, yang duduk di sofa dengan ponsel di tangan, berusaha menenangkan ibunya. "Bu, tenanglah. Mungkin Juan lembur di bengkel."
Tapi bahkan Manuel tidak bisa menyembunyikan kecemasannya sendiri. Ia baru saja menelepon temannya, pemilik bengkel tempat adiknya bekerja. "Juan sudah pulang sekitar empat jam yang lalu," kata temannya, membuat jantung Manuel berdegup kencang.
Ibu Juan kembali ke dapur, mencuci piring yang sudah bersih untuk kesekian kalinya, berusaha mengalihkan pikirannya dari skenario-skenario buruk yang bermunculan di benaknya. Suara air yang mengalir tidak bisa meredam suara hatinya yang terus bertanya-tanya, "Di mana anakku?"
Tiba-tiba, dering telepon memecah keheningan. Ibu Juan bergegas ke ruang tamu, harapan dan ketakutan bercampur dalam hatinya. Manuel mengangkat telepon, wajahnya berubah pucat saat mendengar suara di seberang sana.
"Halo, benar ini keluarga Juan?" suara seorang wanita terdengar. "Saya dari Rumah Sakit Umum Kota. Juan mengalami kecelakaan dan saat ini sedang dalam perawatan intensif."
Dunia seolah berhenti berputar. Manuel merasakan kakinya lemas, tapi ia berusaha tetap tegar. "B-baik, terima kasih. Kami akan segera ke sana," jawabnya dengan suara bergetar.
Saat Manuel menutup telepon dan berbalik, ia melihat ibunya berdiri di ambang pintu dapur, wajahnya pucat pasi. Dari tatapan Manuel, ibu Juan tahu sesuatu yang buruk telah terjadi.
"Juan... kecelakaan," kata Manuel pelan, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski hatinya bergejolak.
Ibu Juan terhuyung, seolah kata-kata itu adalah pukulan fisik yang menghantamnya. Ia tergagap, berusaha mengambil napas tapi terasa begitu sulit. Manuel bergegas menghampiri, merangkul ibunya yang mulai tersengal-sengal.
"Bu, tenang Bu. Tarik napas pelan-pelan," kata Manuel, menuntun ibunya ke sofa. Ia mengambil segelas air dan membantu ibunya minum. "Juan kuat, Bu. Dia akan baik-baik saja."
Air mata mulai mengalir di pipi ibu Juan. "Anakku... Juan kecilku," isaknya. Tiba-tiba, ia bangkit dengan gerakan tiba-tiba. "Kita harus ke rumah sakit sekarang! Ibu harus melihatnya!"
Manuel mengangguk. "Iya, Bu. Aku akan menyiapkan motor. Ibu ganti baju dulu, ya?"
Dengan tangan gemetar, ibu Juan berusaha mengenakan baju dan mengambil tasnya. Pikirannya dipenuhi bayangan Juan kecil yang tersenyum, Juan remaja yang baru lulus SMA, dan Juan dewasa yang selalu pulang dengan wajah lelah tapi puas. Hatinya terasa diremas oleh rasa takut yang mencekam.
"Cepat, Nak," desak ibu Juan saat Manuel masih sibuk mencari kunci motor. "Ibu harus segera bertemu Juan."
Manuel mengangguk, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup kencang. Ia harus kuat, untuk ibunya dan untuk Juan. Dalam hati, ia berdoa agar adiknya baik-baik saja.
Malam itu, motor butut Manuel melaju membelah kegelapan, membawa dua hati yang dipenuhi kecemasan dan harapan. Di boncengan, ibu Juan terus berdoa, bibirnya bergetar mengucapkan nama Juan berulang-ulang seperti mantra.
Mereka tidak tahu apa yang menanti di rumah sakit, tapi satu hal yang pasti—apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama.
Setibanya di rumah sakit, Manuel dan ibunya bergegas menghampiri meja perawat. Dengan napas terengah-engah dan suara bergetar, Manuel bertanya, "Permisi, kami keluarga Juan. Di mana kamarnya?"
Perawat itu menatap mereka dengan simpati sebelum menjawab, "Juan berada di ruangan VIP 1, lantai 3."
Tanpa membuang waktu, Manuel dan ibunya bergegas ke lift. Selama perjalanan singkat itu, ibu Juan tak henti-hentinya berdoa, bibirnya bergetar mengucapkan nama putranya berulang kali.
Pintu lift terbuka, dan mereka langsung berlari ke arah kamar yang ditunjukkan. Begitu memasuki ruangan, pemandangan yang menyambut mereka membuat jantung keduanya seolah berhenti berdetak.
Juan terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi dan tubuhnya dipasangi berbagai selang dan alat medis. Ibu Juan langsung menghambur ke sisi ranjang, air matanya mengalir deras.
"Juan, anakku," isak sang ibu, tangannya gemetar menyentuh wajah putranya. "Ibu di sini, Nak. Bangunlah, Juan."
Manuel berdiri di sisi lain ranjang, matanya berkaca-kaca melihat kondisi adiknya. Ia menggenggam tangan Juan erat, seolah dengan kekuatan itu ia bisa menarik Juan kembali ke alam sadar. "Hei, adik kecil," bisiknya parau. "Kau kuat, Juan. Kami semua menunggumu."
Saat itulah Manuel menyadari kehadiran sosok lain di ruangan itu. Seorang pemuda berdiri mematung di sudut, wajahnya pucat dan matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. Manuel melepaskan genggamannya pada tangan Juan dan berjalan mendekati pemuda itu.
"Maaf," ujar Manuel dengan nada setenang mungkin, meski emosinya bergejolak. "Anda siapa?"
Alby - karena memang dialah pemuda itu - hanya bisa menunduk, matanya terpaku pada lantai. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Rasa bersalah dan ketakutan mencengkeram seluruh tubuhnya, membuatnya tak mampu bersuara.
Tepat saat itu, pintu ruangan terbuka lagi. Kali ini, sepasang pria dan wanita paruh baya melangkah masuk. Mereka adalah orang tua Alby, dan keterkejutan tergambar jelas di wajah mereka saat melihat keluarga Juan sudah berada di sana.
"Oh," ucap ibu Alby pelan, matanya bergerak dari Juan yang terbaring, ke ibu Juan yang masih terisak di sisi ranjang, lalu ke Manuel yang berdiri di dekat Alby.
Ayah Alby, dengan wajah tegang namun berusaha tetap tenang, melangkah maju. "Selamat malam," sapanya dengan suara berat. "Saya rasa kita perlu bicara."
Atmosfer di ruangan itu seketika berubah, ketegangan mengambang di udara seperti awan gelap yang siap mencurahkan badai. Di tengah isak tangis ibu Juan dan bunyi monoton dari alat-alat medis, dua keluarga yang dipertemukan oleh takdir kini berhadapan, masing-masing membawa beban emosi dan tanggung jawab yang berat.
~TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Voiceless Ties [END]
Fanfictionshininghands September, 2024 COMPLETED ✅️ BXB! homophobic, this is not ur place. Bahasa Indonesia semi baku Alby as Hc (sub) Juan as Jn (dom) Nohyuck | Jendong -♡ Malam itu, dua dunia yang tak pernah bersinggungan mulai menari dalam orbit yang sama...