21

629 93 1
                                    

Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Alby merasakan sentuhan lembut di bahunya. Ia membuka mata dengan berat, mengerjap-ngerjap untuk mengusir kantuk yang masih menyelimuti. Sosok Bu Ita berdiri di samping tempat tidur, senyum hangat menghiasi wajahnya yang sudah dihiasi kerut-kerut usia.

"Ayo, Nak. Bangun. Kita siapkan sarapan," ujar Bu Ita lembut, namun cukup tegas untuk membuat Alby tahu bahwa ini bukan sekadar ajakan.

Alby mengerang pelan, melirik jam di dinding yang masih menunjukkan pukul 04.30 pagi. Ia hampir lupa bahwa ini adalah rutinitas baru yang harus ia jalani sebagai bagian dari keluarga Juan. Dengan enggan, ia bangkit dari kasur Juan yang ia tempati, sementara Juan masih terlelap di kasur lipat tipis di lantai.

"Iya, Bu," jawab Alby dengan suara serak, berusaha menyembunyikan kejengkelannya. Ia beranjak ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin untuk mengusir sisa-sisa kantuk.

Di dapur, Bu Ita sudah mulai mengeluarkan bahan-bahan dari lemari es. Alby berdiri canggung di ambang pintu, tidak yakin harus melakukan apa.

"Alby, tolong siapkan bahan-bahan ini ya," ujar Bu Ita sambil menunjuk beberapa sayuran dan bumbu di atas meja. "Ibu mau masak soto ayam untuk sarapan hari ini."

Alby mengangguk, meski dalam hati ia merasa heran. Soto ayam untuk sarapan? Bukankah itu terlalu berat? Namun, ia tidak berani mengutarakan pikirannya. Dengan patuh, ia mulai membantu menyiapkan bahan-bahan sesuai arahan Bu Ita.

Sementara Bu Ita sibuk meracik bumbu dan merebus ayam, Alby hanya bisa membantu hal-hal kecil seperti memotong sayuran dan menyiapkan pelengkap. Ia merasa tidak berguna, tapi setidaknya ia sudah berusaha membantu.

Aroma rempah-rempah mulai memenuhi dapur, membuat perut Alby tanpa sadar berbunyi. Meski ia biasanya hanya sarapan roti panggang atau sereal, ia harus mengakui bahwa aroma masakan Bu Ita sangat menggugah selera.

"Nah, Alby," ujar Bu Ita saat kuah soto sudah mendidih. "Bisa tolong bangunkan Juan? Sarapan sebentar lagi siap."

Alby mengangguk dan berjalan menuju kamar Juan. Kali ini, ia lebih berhati-hati saat membangunkan Juan, mengingat insiden benturan kepala kemarin. Namun, pemandangan yang menyambutnya membuat Alby terpaku di ambang pintu.

Juan sudah setengah bangun, duduk di atas kasur lipat dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih setengah terpejam. Ia sedang mengucek matanya, terlihat begitu polos dan... entah mengapa, menggemaskan di mata Alby.

Tanpa sadar, Alby melangkah mendekati Juan. Tangannya terangkat, perlahan menyentuh rambut Juan yang berantakan. Juan, yang masih belum sepenuhnya sadar, hanya diam membiarkan Alby merapikan rambutnya.

"Juan," panggil Alby lembut, tangannya masih bermain di antara helai-helai rambut Juan. "Sudah pagi. Ayo bangun."

Juan mengangkat wajahnya, menatap Alby dengan mata sayu. Untuk pertama kalinya, Juan melihat senyuman Alby yang begitu tulus dan... cantik. Sesuatu berdesir dalam dada Juan, sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.

Alby, yang tiba-tiba sadar dengan apa yang ia lakukan, cepat-cepat menarik tangannya. Ia berdehem canggung, berusaha menyembunyikan rona merah yang mulai menjalar di pipinya.

"Aku... aku ambilkan handukmu," ujar Alby, berbalik untuk mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu. Ia menyerahkan handuk itu pada Juan, berusaha menghindari kontak mata. "Nih, mandi sana. Nanti telat ke tempat kerja."

Juan mengangguk, masih dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi, meninggalkan Alby sendirian di kamar.

Begitu pintu kamar mandi tertutup, Alby menghela napas berat. Ia jatuh terbaring di atas kasur lipat tipis yang baru saja ditinggalkan Juan, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Apa yang baru saja ia lakukan? Kenapa ia bersikap begitu... lembut pada Juan?

"Tidak, tidak," gumam Alby pada dirinya sendiri. "Aku masih Alby yang dulu. Aku tidak boleh terbawa suasana."

Ia bangkit, bertekad untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia masih Alby yang lama. Alby yang hidup untuk bersenang-senang, yang tidak peduli dengan aturan atau pandangan orang lain.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang