37

626 107 8
                                    

Hari kepindahan Juan dan Alby akhirnya tiba. Pagi itu, matahari Jakarta baru saja mengintip dari balik gedung-gedung tinggi ketika mereka mulai mengemas barang-barang terakhir ke dalam koper. Apartemen yang disediakan oleh kantor baru Juan sudah dilengkapi dengan perabotan, jadi mereka hanya perlu membawa pakaian dan barang-barang pribadi.

Alby memandangi kamar sederhana yang telah menjadi rumah mereka selama ini. Matanya menelusuri setiap sudut, seolah berusaha menyimpan setiap detail dalam ingatannya. Juan menepuk pundak Alby lembut, menyadarkannya dari lamunan.

"Sudah siap?" tanya Alby pelan, suaranya sedikit bergetar.

Juan mengangguk, senyum hangat tersungging di bibirnya. Ia mengetik di ponselnya, "Kita akan sering pulang, sayang. Ini tetap rumah kita."

Mereka melangkah keluar kamar, koper di tangan, menuju ruang tamu di mana Ibu Ita dan Kak Manuel sudah menunggu. Wajah Ibu Ita terlihat sembab, jelas ia telah menangis semalaman. Kak Manuel berdiri di sampingnya, ekspresinya keras namun ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan di matanya.

"Ibu," Alby berlutut di hadapan Ibu Ita, menggenggam tangannya erat. "Kami janji akan sering pulang. Setiap akhir pekan, kami akan ke sini."

Ibu Ita mengangguk pelan, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. "Ibu tahu, Nak. Ibu hanya... akan sangat merindukan kalian."

Juan mendekati ibunya, memeluknya erat. Ia mengeluarkan ponselnya, mengetik dengan cepat, "Ibu jangan khawatir. Juan akan menjaga Alby dengan baik. Juan janji akan sering menelepon."

Kak Manuel, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Jaga diri kalian baik-baik," ujarnya, suaranya sedikit parau. "Alby, ingat pesanku. Jaga adikku."

Alby mengangguk mantap, "Pasti, Kak. Aku berjanji."

Setelah pelukan terakhir dan air mata yang mengalir, Juan dan Alby akhirnya melangkah keluar dari rumah sederhana itu. Audi R8 milik Alby sudah terparkir rapi di depan, menunggu untuk membawa mereka ke kehidupan baru mereka. Mobil mewah itu kontras dengan lingkungan sekitar, mengingatkan akan latar belakang Alby yang berbeda.

"Kamu yang menyetir ya, sayang?" tanya Alby lembut. "Anggap saja latihan sebelum nanti kamu mengemudi ke kantor barumu."

Juan tersenyum, mengangguk pelan. Ia mengambil kunci dari tangan Alby dan membuka pintu pengemudi. Dengan hati-hati, ia memasukkan koper mereka ke bagasi yang tidak terlalu luas namun cukup untuk barang bawaan mereka yang tidak banyak.

Sebelum masuk ke mobil, mereka berdua berbalik, melambaikan tangan untuk terakhir kalinya kepada Ibu Ita dan Kak Manuel yang masih berdiri di ambang pintu. Ada kesedihan yang terpancar dari mata keduanya, namun juga ada harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi Juan dan Alby.

Juan menyalakan mesin mobil, suara halus namun bertenaga dari Audi R8 memecah keheningan pagi. Alby duduk di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan Juan yang bebas.

"Siap untuk petualangan baru kita?" tanya Alby, senyum kecil tersungging di bibirnya.

Juan mengangguk, matanya memancarkan keyakinan. Ia melepaskan tangannya sejenak dari Alby untuk mengetik di ponselnya, "Selama bersamamu, aku siap menghadapi apapun."

Mobil mulai bergerak perlahan, meninggalkan rumah yang telah menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka. Juan mengemudikan mobil dengan hati-hati melalui jalan-jalan Jakarta yang mulai ramai. Sesekali Alby memberikan petunjuk arah, meski Juan sudah cukup familiar dengan rute menuju apartemen baru mereka.

Sepanjang perjalanan, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alby memandang keluar jendela, melihat pemandangan kota yang berubah dari kawasan pinggiran ke pusat kota yang padat. Juan fokus pada jalanan, sesekali melirik Alby dengan penuh kasih sayang.

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang