39

570 100 5
                                    

Hari demi hari berlalu, dan Alby merasakan kekosongan yang semakin menekan di apartemen yang seharusnya menjadi rumah bahagianya bersama Juan. Pagi-pagi sekali, ia terbangun dan menatap sisi tempat tidur yang kosong, tempat Juan seharusnya berbaring. Dengan berat hati, Alby bangkit dan memulai rutinitas paginya.

Sarapan sendirian di meja makan yang terlalu besar untuk satu orang. Suara sendok yang beradu dengan piring terdengar begitu nyaring di keheningan apartemen. Alby menatap kursi kosong di hadapannya, membayangkan Juan duduk di sana, tersenyum dan berbagi cerita melalui aplikasi text-to-speech-nya.

Siang hari, Alby mencoba mengisi waktu dengan berbagai kegiatan. Ia membersihkan apartemen yang sudah bersih, menata ulang lemari yang sudah rapi, dan mencoba resep baru yang akhirnya hanya ia makan sendiri. Terkadang, ia duduk di balkon, memandang kota yang sibuk di bawah, merasa terasing dari hiruk-pikuk kehidupan yang berlangsung tanpanya.

Sore menjelang malam, rasa sepi semakin mencekik. Alby duduk di sofa, menonton acara TV tanpa benar-benar memperhatikan. Pikirannya melayang, membayangkan bagaimana dulu ia menghabiskan malam-malam dengan teman-teman lamanya. Pesta-pesta yang meriah, tawa yang membahana, dan perasaan diterima yang ia rindukan.

Namun, secepat pikiran itu muncul, Alby menggelengkan kepala, berusaha mengusirnya. "Tidak," bisiknya pada diri sendiri. "Aku sudah berjanji tidak akan kembali ke lingkaran pertemanan beracun itu." Bayangan pengkhianatan yang pernah ia alami dari teman-temannya kembali menyeruak, mengingatkannya mengapa ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan itu.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Alby. Ia memeluk lututnya, terisak pelan di kesunyian apartemen. Rasa sepi, kecewa, dan rindu bercampur menjadi satu. Ia merindukan Juan, merindukan kehangatan keluarga Ibu Ita dan Kak Manuel, tapi juga merasa terjebak dalam pilihan hidupnya sekarang.

"Apa yang salah denganku?" tanya Alby pada dirinya sendiri, suaranya parau. "Mengapa aku selalu berakhir sendirian?"

Malam semakin larut, dan Alby masih terjaga, menatap layar ponselnya. Tidak ada pesan dari Juan. Tidak ada panggilan yang terlewat. Hanya wallpaper foto mereka berdua yang tersenyum bahagia, seolah mengejek kenyataan yang ia hadapi sekarang.

Dengan helaan napas berat, Alby akhirnya berjalan ke kamar tidur. Ia berbaring, memeluk bantal Juan, mencoba mencari sisa-sisa aroma suaminya yang sudah mulai memudar. Dalam kegelapan kamar, Alby membisikkan doa, berharap esok akan menjadi hari yang lebih baik, berharap Juan akan pulang, berharap ia tidak perlu merasa sendirian lagi.

Tapi jauh di lubuk hatinya, Alby tahu, besok akan sama seperti hari ini. Sendirian, dalam apartemen yang terlalu besar untuk satu hati yang kesepian.

Suatu malam yang sudah larut ketika pintu apartemen terbuka perlahan. Juan melangkah masuk, tas penuh pakaian kotor tersampir di bahunya. Ia berharap bisa masuk diam-diam, mengambil beberapa potong pakaian bersih, dan kembali ke kantor tanpa membangunkan Alby.

Namun, lampu ruang tamu yang menyala menghancurkan harapannya.

Alby duduk di sofa, matanya merah dan bengkak. Sudah berapa lama ia menunggu?

Juan mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik. Suara robotik dari aplikasi text-to-speech memecah keheningan, "Oh, kamu belum tidur?"

Alby menatapnya dingin. "Bagaimana bisa aku tidur saat suamiku bahkan tidak pulang berhari-hari?"

Juan kembali mengetik dengan cepat. "Alby, aku minta maaf. Aku sangat sibuk dengan proyek baru di kantor."

"Proyek lagi, proyek lagi!" Alby berdiri, suaranya bergetar menahan emosi. "Lalu apa gunanya apartemen ini, Juan? Kita mengambil fasilitas tempat ini agar dekat dengan kantormu, tapi nyatanya kamu lebih memilih tidur di kantor!"

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang