35

595 102 8
                                    

Alby duduk gelisah di sofa ruang tamu kediaman mewah keluarga Hendra. Jari-jarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk sandaran tangan sofa, sementara matanya terus melirik ke arah pintu, berharap Juan akan muncul setiap saat. Sudah hampir tujuh jam berlalu sejak Nenek Mira menyuruh Juan entah ke mana, dan ketidakpastian ini mulai menggerogoti pikiran Alby. Ia tahu bahwa test yang Juan jalani adalah rencana Nenek Mira, tapi tetap saja, kekhawatiran menyelimuti hatinya.

"Apa yang sebenarnya direncanakan Nenek?" gumam Alby pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia mencoba mengingat-ingat setiap detail percakapan mereka sebelumnya, mencari petunjuk apa pun yang mungkin terlewat. Namun, semakin ia berpikir, semakin besar kekhawatirannya tumbuh.

Kakek Hendra, yang sedari tadi memperhatikan cucunya dari sudut ruangan, akhirnya angkat bicara. "Alby," panggilnya dengan suara berat dan tegas, "kau harus mulai memikirkan masa depanmu dengan lebih serius."

Alby menoleh, matanya bertemu dengan tatapan tajam sang kakek. "Maksud Kakek apa?" tanyanya, meski dalam hati ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.

"Kau adalah cucu kami satu-satunya, penerus keluarga Pranata," Kakek melanjutkan, suaranya semakin tegas. "Apa yang akan terjadi dengan masa depanmu jika kau terus bersama... pemuda itu?"

Mendengar nada meremehkan dalam suara kakeknya saat menyebut Juan, darah Alby serasa mendidih. "Juan, Kek. Namanya Juan, dan dia suamiku," ujarnya, berusaha menahan emosi yang mulai meluap.

"Suami?" Kakek Hendra mendengus. "Pernikahan yang bahkan tidak diketahui keluargamu sendiri? Apa itu bisa disebut pernikahan yang sah?"

Alby bangkit dari sofanya, tak bisa lagi menahan amarah. "Kami menikah di hadapan hukum dan Tuhan, Kek. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya sah!"

"Jangan kau berani-berani menentang keputusanku, Alby!" suara Kakek Hendra meninggi. "Aku sudah memikirkan masa depanmu dengan matang. Kau akan menikah dengan putri rekan bisniku, bukan dengan seorang montir cacat yang bahkan tidak bisa berbicara!"

Kata-kata itu menusuk hati Alby seperti belati. "Kakek tidak berhak menghina Juan seperti itu!" teriaknya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Juan mungkin bisu, tapi dia jauh lebih baik dari siapapun yang Kakek pilihkan untukku!"

Jonatan dan Gebby, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Jonatan berdiri di antara Alby dan Kakek Hendra, sementara Gebby menghampiri Alby dan memegang bahunya lembut.

"Pa," Jonatan berbicara dengan nada tenang namun tegas, "saya mohon, jangan bicara seperti itu tentang Juan. Dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita sekarang."

Gebby mengangguk, menatap mertuanya dengan pandangan memohon. "Benar, Pa. Juan mungkin memiliki keterbatasan, tapi dia telah membuktikan dirinya sebagai pria yang bertanggung jawab dan mencintai Alby dengan tulus."

Kakek Hendra menatap putra dan menantunya dengan tatapan tidak percaya. "Kalian membela anak itu? Apa kalian lupa posisi kalian? Jonatan, kau adalah Kapolri! Dan Gebby, kau Kepala Kantor Wilayah DJBC Jakarta! Apa jadinya jika publik tahu putra kalian menikah dengan seorang..."

"Cukup, Pa!" potong Jonatan, suaranya tegas namun tetap hormat. "Saya mengerti kekhawatiran Papa. Tapi Alby sudah dewasa, dan dia berhak memilih pasangan hidupnya sendiri."

Alby menatap kedua orangtuanya dengan pandangan penuh terima kasih. Namun, ia juga bisa melihat dilema di mata mereka. Mereka ingin mendukungnya, tapi di sisi lain, mereka juga tidak bisa terang-terangan menentang keinginan orangtua mereka.

"Kalian semua tidak mengerti," Alby akhirnya berkata, suaranya pelan namun penuh keyakinan. "Juan... dia bukan hanya suamiku. Dia adalah alasanku untuk menjadi versi terbaik dari diriku sendiri."

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang