7

638 81 2
                                    

Satu jam kemudian, di sebuah ruang tunggu privat di rumah sakit, dua keluarga yang kontras duduk berhadapan. Jonatan dan Gebby, dengan pakaian formal mereka yang rapi, terlihat begitu berbeda dengan ibu Juan yang masih mengenakan daster lusuh dan Manuel dalam kausnya yang kusut.

Ibu Juan, dengan tangan gemetar namun suara yang berusaha tetap tegar, mulai berbicara. "Kami... kami sudah mempertimbangkan tawaran Bapak," ujarnya pelan. "Dan kami... kami setuju."

Mendengar kata-kata itu, raut wajah Jonatan berubah. Senyum puas tersungging di bibirnya, matanya berkilat penuh kemenangan. Ia berusaha menyembunyikan ekspresinya dengan berdehem pelan, namun Manuel yang duduk di seberangnya bisa melihat jelas kepuasan yang terpancar dari wajah pria paruh baya itu.

"Saya senang mendengarnya," ujar Jonatan dengan nada formal. "Saya yakin ini keputusan yang terbaik untuk kedua belah pihak."

Namun, sebelum pembicaraan berlanjut lebih jauh, Jonatan tiba-tiba mendekatkan wajahnya, suaranya menjadi lebih rendah dan serius. "Tapi ada satu hal yang harus kita sepakati," ujarnya, matanya menatap tajam ke arah ibu Juan dan Manuel. "Kejadian ini... kecelakaan ini... tidak pernah terjadi. Mengerti?"

Ibu Juan dan Manuel saling berpandangan, kecemasan terpancar jelas di mata mereka. Namun, mereka tahu mereka tidak punya pilihan lain. Dengan berat hati, keduanya mengangguk.

"Bagus," Jonatan tersenyum puas. "Kalau begitu, mari kita bicarakan detail pernikahannya."

Sementara orang tua mereka membicarakan masa depan yang telah diputuskan sepihak, Alby dan Juan - yang masih tak sadarkan diri - tidak tahu bahwa takdir mereka baru saja diubah selamanya.

Di luar ruangan itu, kehidupan rumah sakit terus berjalan seperti biasa, tak menyadari drama yang tengah berlangsung di balik pintu tertutup, di mana dua keluarga yang berbeda sedang merajut benang takdir yang akan mengikat dua jiwa yang bahkan belum pernah bertemu.

Keesokan harinya, mentari pagi baru saja merangkak naik ketika keluarga Alby tiba di rumah sakit. Jonatan dan Gebby, dengan pakaian rapi mereka, terlihat kontras dengan Alby yang mengenakan kaus longgar dan celana jeans, seolah enggan berada di sana. Mereka disambut oleh Manuel di lobi, wajahnya masih menyiratkan kelelahan dan kekhawatiran.

"Selamat pagi," sapa Jonatan formal. "Apa kita bisa melanjutkan pembicaraan kita di ruang tunggu privat yang kemarin?"

Manuel mengangguk kaku, lalu menuntun mereka ke ruangan yang dimaksud. Saat mereka hendak masuk, Alby tiba-tiba berkata, "Aku... aku akan menunggu di kamar Juan saja."

Jonatan menatap putranya dengan tatapan tajam, tapi Gebby menyentuh lengan suaminya lembut. "Biarkan saja, mungkin Alby butuh waktu untuk membiasakan diri."

Dengan enggan, Jonatan mengangguk. "Baiklah, tapi jangan berbuat macam-macam."

Alby hanya memutar bola matanya sebelum berbalik menuju kamar rawat Juan. Ia membuka pintu perlahan, setengah berharap Juan masih tertidur. Benar saja, sosok di atas ranjang itu masih terbaring diam, hanya suara monoton dari alat-alat medis yang memecah kesunyian.

Dengan langkah malas, Alby menghempaskan dirinya ke sofa di sudut ruangan. Ia mengeluarkan ponselnya, mulai menggeser layar tanpa tujuan. Namun, entah mengapa, matanya terus mencuri pandang ke arah Juan.

Setelah beberapa menit, Alby menghela napas frustrasi. Ia meletakkan ponselnya dan bangkit, berjalan perlahan mendekati ranjang Juan. Tanpa sadar, tangannya terulur, menyentuh jemari Juan yang terpasang infus.

Kulitnya terasa dingin, tapi entah mengapa Alby merasakan getaran aneh di dadanya. Ia mulai mengusap lembut punggung tangan Juan dengan ibu jarinya, gerakan yang bahkan tidak ia sadari.

"Hei," bisiknya pelan, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. "Aku... aku minta maaf. Aku tahu kata-kata tidak cukup, tapi... aku benar-benar menyesal."

Tiba-tiba, Alby merasakan gerakan kecil di bawah sentuhannya. Matanya melebar kaget saat ia melihat jemari Juan bergerak pelan. Dengan jantung berdegup kencang, Alby mengalihkan pandangannya ke wajah Juan.

Perlahan, kelopak mata Juan bergetar, lalu terbuka. Untuk beberapa saat, dunia seolah berhenti berputar. Mata Juan, yang masih terlihat sayu dan bingung, bertemu dengan mata Alby yang dipenuhi keterkejutan dan... sesuatu yang tidak bisa ia definisikan.

Mereka terdiam, saling menatap dalam keheningan yang entah mengapa terasa intim. Tangan Alby masih menggenggam tangan Juan, dan untuk sesaat, ia lupa bagaimana caranya bernapas.

Ketika kesadaran akhirnya menghantam Alby, ia tersentak mundur, namun tangannya masih enggan melepaskan tangan Juan. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggil perawat.

"Tunggu sebentar," ujar Alby, suaranya terdengar serak. "Aku akan memanggil dokter."

Saat suara langkah kaki perawat mulai terdengar di koridor, Alby akhirnya melepaskan genggamannya pada tangan Juan. Namun, tatapan mereka masih terkunci satu sama lain, seolah ada benang tak kasat mata yang mengikat mereka berdua.

Dalam hati, Alby merasakan perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sesuatu yang membuatnya takut, namun di saat yang sama, membuatnya tidak ingin pergi dari sisi Juan.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang