4

757 78 5
                                    

"Selamat malam," sapanya dengan suara berat. "Saya rasa kita perlu bicara."

Manuel mengangguk kaku, lalu duduk di sofa. Keluarga Alby mengikuti, duduk berhadapan dengannya. Ibu Juan tetap di sisi ranjang, menggenggam tangan putranya yang tak sadarkan diri.

Atmosfer di ruangan itu sarat dengan ketegangan saat ayah Alby mulai menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan pisau yang mengiris hati keluarga Juan. Manuel mendengarkan dengan wajah semakin mengeras, tangannya terkepal erat di pangkuannya.

Ketika ayah Alby selesai berbicara, keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Tiba-tiba, Manuel berdiri, matanya nyalang menatap Alby yang masih menunduk ketakutan.

"Kau!" bentak Manuel, suaranya penuh amarah. "Kau yang menghancurkan masa depan adikku!"

Manuel melangkah maju, tangannya terangkat siap melayangkan pukulan. Namun, sebelum tangannya mencapai Alby, ibu Alby dengan sigap melindungi putranya, sementara ayah Alby menahan tangan Manuel.

"Tolong, jangan gunakan kekerasan," ujar ayah Alby, berusaha menenangkan situasi. "Mari kita selesaikan ini secara kekeluargaan."

"Kekeluargaan?" Ibu Juan akhirnya angkat bicara, suaranya parau dan penuh emosi. "Kita bukan keluarga! Kalian sudah merusak masa depan anakku. Bagaimana bisa diselesaikan secara kekeluargaan?"

Ruangan itu kembali hening, hanya isak tangis ibu Juan dan bunyi monoton dari alat-alat medis yang terdengar. Tiba-tiba, ayah Alby berbicara, suaranya tegas namun ada nada keraguan di dalamnya.

"Bagaimana... bagaimana kalau kita nikahkan Alby dengan Juan?"

Kata-kata itu bagaikan petir di siang bolong. Alby mendongak kaget, matanya melebar tak percaya. "Ayah serius? Ayah bercanda, kan?" tanyanya dengan suara bergetar.

Ibu Alby juga terlihat terkejut, mulutnya terbuka namun tak ada kata-kata yang keluar.

Sebelum ayah Alby bisa menjawab, Manuel angkat bicara. Suaranya dingin dan sinis saat ia bertanya, "Oh? Dan apakah pernikahan itu bisa mengembalikan suara adikku?"

Pertanyaan itu menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah begitu pekat di ruangan itu. Alby, yang tadinya shock, kini kembali menunduk, rasa bersalah dan ketakutan terpancar jelas dari bahasa tubuhnya.

Ayah Alby menghela napas panjang, matanya menerawang sejenak sebelum kembali menatap keluarga Juan. "Saya tahu ini terdengar gila," ujarnya dengan suara berat. "Tapi tolong dengarkan alasan saya."

Ruangan itu hening, semua mata tertuju pada pria paruh baya yang berdiri dengan tegap meski bahunya terlihat berat oleh beban yang tak terlihat.

"Pertama, pernikahan ini bisa menjadi jaminan bahwa Alby akan bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya. Kedua, ini akan memastikan Juan mendapat perawatan terbaik dan dukungan finansial yang dibutuhkan untuk rehabilitasinya." Ayah Alby berhenti sejenak, matanya beralih pada Juan yang masih terbaring tak sadarkan diri. "Dan yang terakhir, mungkin yang paling penting, ini akan mencegah kasus ini menjadi konsumsi publik yang bisa merusak masa depan kedua anak kita."

Ia kemudian menambahkan dengan nada yang lebih lembut, "Saya berjanji akan menanggung seluruh biaya hidup Juan, termasuk melunasi hutang keluarga kalian. Alby juga tidak akan menjadi beban finansial bagi Juan setelah menikah. Ini bukan tentang uang, tapi tentang tanggung jawab dan memastikan masa depan yang lebih baik untuk keduanya."

Manuel, yang sedari tadi menahan amarahnya, akhirnya meledak. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan nada tinggi. "Anda pikir kami bisa dibeli? Ini bukan hanya tentang uang, tapi harga diri kami! Juan bukan barang yang bisa Anda tukar dengan uang!"

Sementara Manuel bereaksi keras, ibu Juan justru terlihat ragu-ragu. Matanya berkaca-kaca saat menatap putranya yang terbaring lemah. "Tapi Nak," bisiknya pelan pada Manuel, "bagaimana kalau ini kesempatan terbaik untuk Juan? Dengan... kondisinya sekarang, belum tentu ada yang mau menikahinya nanti."

Pemikiran ibu Juan ini mungkin terdengar kolot dan menyakitkan bagi telinga modern. Namun, penting untuk dipahami bahwa cara pandangnya dibentuk oleh lingkungan tempat ia tumbuh. Di desa terpencil tempatnya dibesarkan, konsep penerimaan terhadap disabilitas masih sangat terbatas. Masyarakat cenderung memandang orang dengan keterbatasan fisik sebagai beban, dan pernikahan sering dilihat sebagai solusi praktis untuk "menyelamatkan" masa depan mereka. Pemikiran ini, meski tidak tepat, berakar dari kecemasan dan keinginan untuk melindungi anaknya dalam keterbatasan pemahaman yang ia miliki.

Manuel dan ibunya mulai berdebat dengan suara pelan namun tegang. Sementara itu, ayah Alby merasakan bahwa ini saat yang tepat untuk memberi ruang bagi keluarga Juan.

"Saya mengerti ini keputusan besar," ujarnya sambil mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari sakunya. Ia menuliskan nomor teleponnya dengan hati-hati. "Ini nomor saya. Tolong pikirkan baik-baik tawaran saya. Saya berharap kita bisa menemukan solusi terbaik untuk Juan dan Alby."

Setelah meletakkan kertas itu di meja samping tempat tidur Juan, keluarga Alby perlahan meninggalkan ruangan. Pintu tertutup di belakang mereka, menyisakan keluarga Juan dalam keheningan yang sarat akan kebimbangan dan emosi yang berkecamuk.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang