25

764 96 6
                                    

Mengapa Juan bisa begitu pengertian? Mengapa ia masih peduli pada Alby yang jelas-jelas telah bersikap jahat? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Alby, membuatnya semakin terisak.

Perlahan, ingatan masa kecilnya mulai bermunculan. Alby kecil yang selalu sendirian di rumah besar, dengan kakek nenek dari pihak ayah yang terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ayah dan ibunya pun tak luput dari tuntutan karir yang dibebankan oleh kakek neneknya.

Alby hanya memiliki kakek nenek dari pihak ayah, karena ibunya hidup sebatang kara. Kesendirian itu membuat Alby kecil selalu mencari perhatian keluarganya dengan cara-cara yang tidak sehat. Ia sering melukai dirinya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung, hanya untuk mendapatkan secercah perhatian dari orang-orang di sekitarnya.

Mengapa Alby tidak mencari perhatian melalui prestasi? Ia mengakui bahwa dirinya tidak terlalu pintar, terutama dalam hal akademis. Membaca buku pelajaran selalu menjadi hal yang membosankan baginya. Alby lebih suka mencari kesenangan instan, yang bisa langsung menarik perhatian orang lain.

Karena perilakunya yang dianggap nakal, Alby kecil akhirnya dikirim ke sekolah di Singapura. Ia tinggal bersama asisten tangan kanan kakeknya, jauh dari keluarganya. Namun, bahkan di sana pun, Alby tetap merasa terabaikan.

Meski begitu, Alby memiliki kemampuan untuk berteman dengan mudah. Ia tidak pilih-pilih dalam berteman, asalkan mereka mau memperhatikannya, berbicara dengannya, dan bermain dengannya. Hal ini perlahan membangun ego Alby kecil.

Seiring berjalannya waktu, Alby semakin menikmati tatapan kagum atau iri dari teman-temannya. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa memiliki apa yang ia miliki, sementara Alby bisa dengan mudah mendapatkan apa yang mereka punya... kecuali satu hal.

Setiap bel pulang sekolah berbunyi, Alby melihat teman-temannya berlarian keluar kelas dengan senyum merekah. Mereka tahu bahwa di luar pagar sekolah, orang tua mereka sudah menunggu dengan tangan terbuka, siap memeluk. Alby hanya bisa terdiam dengan pandangan datar menyaksikan pemandangan itu.

Pengalaman itu membuat Alby semakin tidak suka melihat orang lain tersenyum bahagia di depannya tanpa melibatkan dirinya. Dalam pikiran Alby kecil, senyuman itu seharusnya hanya miliknya. Ia merasa berhak atas kebahagiaan yang tidak pernah ia dapatkan dari keluarganya sendiri.

Memasuki masa remaja, Alby mulai mengenal minuman beralkohol. Saat meminumnya, ada perasaan aneh yang muncul. Bukan perasaan yang buruk atau mengganggu, justru Alby merasa senang dengan sensasi itu. Bahkan rasa sakit kepala saat hangover pun ia nikmati, meski ia tidak terlalu menyukai efek mualnya.

Suatu hari, terjadi perang dingin di rumahnya. Alby tidak paham betul permasalahannya, yang ia tahu hanyalah hubungan ibunya dengan orang tua ayahnya sedang tidak baik. Alby tidak terlalu memperhatikan sikap ayahnya, karena fokusnya tertuju pada wajah kesedihan ibunya.

Anehnya, melihat kesedihan ibunya membuat Alby merasa bangga. Bangga karena ternyata bukan hanya dirinya yang mengalami penderitaan dalam keluarga ini, tapi ibunya juga. Sejak hari itu, perhatian yang selama ini Alby cari sedikit demi sedikit ia dapatkan dari ibunya.

Ibunya memang tidak banyak bicara, bahkan tidak melarang perbuatan buruk Alby. Namun, setiap kali Alby hangover, ibunya selalu datang membawakan sup. Sebelum pergi, ibunya hanya berkata, "Tetaplah hidup, ibu tahu kau bisa."

Kembali ke masa kini, Alby terbaring dengan mata terpaku pada langit-langit kamar Rico. Cahaya temaram dari lampu jalanan menyusup melalui celah tirai, menciptakan bayangan-bayangan samar di dinding. Air matanya masih mengalir perlahan, membasahi pipinya yang pucat, meninggalkan jejak asin yang terasa perih di kulitnya. Dalam keheningan kamar itu, pikirannya mulai menerawang jauh, menembus batas-batas realita yang selama ini ia bangun dengan begitu kokoh.

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang