2

820 85 2
                                    

Alby tertawa terbahak-bahak, satu tangan memegang kemudi sementara tangan lainnya menggenggam botol minuman yang nyaris kosong.

Musik hip-hop berdentum keras dari sistem audio mobilnya, mengalahkan suara angin yang berhembus masuk dari jendela yang terbuka.

Dunia terasa berputar, tapi Alby merasa on top of the world. Ia menekan pedal gas lebih dalam, menikmati sensasi kecepatan yang memompa adrenalinnya.

Jalanan yang sepi bagaikan undangan bagi Alby untuk mengebut. Ia nyaris tidak memperhatikan rambu-rambu lalu lintas yang berubah warna.

Dalam benaknya yang berkabut oleh alkohol, lampu merah hanyalah sugesti. Alby melihat sosok seseorang di kejauhan, tapi matanya yang berkunang-kunang tidak bisa fokus. Ia mengira itu hanya bayangan.

Terlambat ia sadari bahwa sosok itu adalah manusia sungguhan. Alby menginjak rem sekuat tenaga, tapi momentum mobil terlalu besar. Ia merasakan benturan keras, suara kaca pecah memenuhi telinganya.

Untuk sesaat, Alby merasa waktu berhenti. Ia melihat tubuh seseorang terpelanting di atas kap mobilnya, kemudian terlempar ke jalanan.

Mobil akhirnya berhenti. Dengan tangan gemetar, Alby membuka pintu mobil. Kakinya goyah saat ia melangkah keluar. Matanya terbelalak melihat sosok yang tergeletak di aspal, darah menggenang di sekelilingnya. Kenyataan menghantam Alby lebih keras dari benturan tadi.

Rasa panik dan mual membanjiri dirinya. Ia ingin lari, tapi kakinya seolah terpaku ke tanah.

Dengan tangan gemetar, Alby merogoh saku, mengeluarkan ponselnya. Otaknya yang masih berkabut berusaha keras mengingat nomor darurat.

"112," gumamnya, jari-jarinya menari di atas layar. Suara operator yang tenang di seberang telepon kontras tajam dengan kekacauan di dalam dirinya.

"Tolong... kecelakaan... ada yang terluka..." Alby terbata-bata, matanya tak lepas dari sosok yang tergeletak di aspal.

Setelah memberikan lokasi, ia segera menghubungi ayahnya. "Ayah... aku... aku mengalami kecelakaan. Tolong..." Suaranya pecah, air mata mulai mengalir.

Jalanan tetap sepi, hanya ada Alby dan korban kecelakaannya. Kesunyian itu memekakkan telinga, hanya sesekali dipecahkan oleh isak tangis tertahan Alby.

Waktu seolah berjalan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan bagi Alby yang diliputi rasa bersalah dan takut.

Akhirnya, suara sirine ambulans membelah keheningan malam. Alby merasa sedikit lega, tapi kecemasannya tidak berkurang. Ia memperhatikan paramedis dengan cekatan menangani korban, memasangkan berbagai alat yang tidak ia mengerti.

Ketika mereka hendak membawa korban ke dalam ambulans, Alby tanpa pikir panjang ikut masuk.

"Saya... saya yang menabraknya," ujarnya lirih pada salah satu paramedis. Tatapan iba yang ia terima hanya membuatnya merasa lebih buruk.

Di rumah sakit, Alby terduduk di kursi plastik keras di lorong yang dingin dan steril. Bau antiseptik yang khas menusuk hidungnya, membuatnya sedikit mual.

Atau mungkin itu efek alkohol dan rasa bersalah yang mencekik. Suara-suara teredam dari ruang operasi di hadapannya membuat Alby semakin gelisah.

Pikirannya berkecamuk.

Bagaimana jika korban itu meninggal?

Bagaimana masa depannya?

Apa yang akan dikatakan teman-temannya, media?

Semua mimpi dan ambisinya, akankah hancur dalam sekejap karena satu malam yang ceroboh?

Suara pintu ruang operasi yang terbuka menyentakkan Alby dari lamunannya. Bersamaan dengan itu, ia melihat kedua orang tuanya berjalan cepat ke arahnya. Wajah ayahnya tegang, sementara ibunya terlihat pucat dan cemas.

"Alby!" seru ibunya, memeluknya erat. Alby bisa merasakan tubuh ibunya gemetar.

Dokter yang baru keluar dari ruang operasi menghampiri mereka. Wajahnya serius, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda berita buruk.

"Keluarga pasien?" tanya dokter itu.

"Saya yang bertanggung jawab," jawab ayah Alby tegas, sementara tangannya meremas bahu Alby.

Dokter mengangguk sebelum melanjutkan, "Pasien mengalami cedera serius, terutama di bagian kepala dan leher. Kami berhasil menstabilkan kondisinya, tapi..." Dokter terdiam sejenak, matanya beralih dari Alby ke kedua orang tuanya. "Ada kerusakan pada pita suara dan saraf di sekitarnya. Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi kemungkinan besar pasien akan kehilangan kemampuan bicaranya secara permanen."

Alby merasa dunianya runtuh. Kakinya lemas, dan jika bukan karena pegangan ayahnya, ia mungkin sudah jatuh.

Kenyataan bahwa ia telah merenggut suara seseorang, mungkin selamanya, menghantamnya dengan keras. Air mata kembali mengalir di pipinya, kali ini disertai isakan tertahan.

"Apa... apa yang bisa kami lakukan?" tanya ibu Alby, suaranya bergetar.

Dokter menghela napas. "Untuk saat ini, yang terpenting adalah proses pemulihan. Pasien akan membutuhkan perawatan intensif dan mungkin terapi rehabilitasi jangka panjang. Dan tentu saja," ia melirik Alby, "dukungan moral akan sangat membantu."

Ayah Alby mengangguk tegas. "Kami akan menanggung semua biaya perawatannya. Dan Alby," ia menoleh pada putranya yang masih terisak, "kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu."

Alby hanya bisa mengangguk lemah. Malam itu, di lorong rumah sakit yang dingin dan steril, ia menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang