10

678 89 1
                                    

Setelah pemeriksaan menyeluruh dan evaluasi kondisi Juan selama seminggu pasca-sadarnya, dokter akhirnya memberikan izin untuk Juan pulang. Meski masih membutuhkan perawatan intensif di rumah dan terapi rutin, Juan dinyatakan cukup stabil untuk melanjutkan pemulihan di lingkungan yang lebih familiar.

Hari kepulangan Juan dari rumah sakit menjadi titik awal diskusi serius tentang rencana pernikahan. Pertemuan demi pertemuan diadakan, namun sosok Alby tak pernah muncul lagi sejak hari Juan membuka mata. Keputusan sepihak yang dibuat oleh kedua keluarga seolah tak pernah sampai ke telinga Alby, atau mungkin, ia sengaja menulikan diri.

Sementara Juan berusaha membiasakan diri dengan kehidupan barunya tanpa suara, Alby kembali tenggelam dalam pusaran kehidupan malamnya. Klub demi klub ia sambangi, menari di bawah gemerlap lampu disko hingga fajar menyingsing. Tawa dan canda bersama teman-teman tak jelasnya seolah menjadi pelarian dari realita yang menanti di rumah.

Enam hari berlalu sejak kepulangan Juan. Di kediaman keluarga Alby, Jonatan duduk di ruang kerjanya dengan dahi berkerut. Matanya menatap tajam layar ponsel yang menampilkan pesan dari ibu Juan. Mereka menanyakan keberadaan Alby, berharap calon menantu mereka bisa mulai terlibat dalam persiapan pernikahan.

Dengan helaan napas berat, Jonatan bangkit dari kursinya. Langkahnya mantap menuju kamar Alby di lantai atas. Tanpa basa-basi, ia membuka pintu kamar dengan kasar.

"Alby!" teriaknya, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.

Yang dipanggil hanya menggeliat malas di balik selimut. Bau alkohol samar tercium dari tubuhnya yang masih berbalut pakaian pesta semalam.

Jonatan menggeram kesal. Dengan satu gerakan cepat, ia menyibakkan selimut yang menutupi tubuh putranya. "Bangun, Alby! Sudah siang begini masih tidur?"

Alby membuka matanya perlahan, silau oleh cahaya matahari yang menerobos masuk. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha memfokuskan pandangannya pada sosok ayahnya yang berdiri menjulang di samping tempat tidur.

"Ayah?" gumamnya linglung, sisa-sisa alkohol masih mempengaruhi kesadarannya. Sebuah cengiran konyol tersungging di bibirnya.

Melihat kondisi putranya, amarah Jonatan semakin memuncak. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat tubuh Alby seperti mengangkat karung beras.

"Ayah! Apa-apaan ini?" protes Alby, namun tubuhnya terlalu lemas untuk melawan.

Jonatan membawa Alby ke kamar mandi, lalu menghempaskan tubuh putranya ke dalam bathtub. Dengan satu gerakan cepat, ia menyalakan shower, membiarkan air dingin mengguyur tubuh Alby.

"Aaakh!" teriak Alby, terkejut oleh sensasi dingin yang tiba-tiba menerpanya. Kesadarannya perlahan kembali, efek alkohol terbilas oleh air yang terus mengalir.

"Sudah sadar sekarang?" tanya Jonatan dingin, matanya menatap tajam putranya yang basah kuyup.

Alby mengangguk lemah, tubuhnya menggigil. "A-ayah... ada apa ini?"

Jonatan mematikan shower, lalu bersandar pada dinding kamar mandi. "Kau masih bertanya ada apa? Dua hari ini kau ke mana saja, Alby?"

Alby terdiam, kepalanya tertunduk. Ia tahu betul ke mana saja ia pergi, tapi lidahnya kelu untuk menjawab.

"Seharusnya kau bertanggung jawab atas Juan, tapi apa? Kau malah asyik berpesta dengan teman-teman tidak jelasmu itu!" suara Jonatan meninggi, amarahnya tak lagi terbendung.

"Tapi Ayah-"

"Tidak ada tapi-tapian!" potong Jonatan tegas. "Besok, kau harus menjemput Juan di rumahnya. Temani dia untuk perawatan pasca-operasi dan terapi wicara."

Alby hendak protes, tapi tatapan tajam ayahnya membuatnya mengurungkan niat. "Baik, Ayah," jawabnya lirih.

Jonatan menghela napas panjang, berusaha meredakan emosinya. "Alby, dengar," ujarnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Juan akan menjadi bagian dari keluarga kita. Ini bukan hanya tentang tanggung jawab, tapi juga tentang membangun hubungan. Cobalah untuk mengenalnya lebih baik."

Alby terdiam, kata-kata ayahnya perlahan meresap dalam benaknya. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, ia merasa benar-benar harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya.

"Baiklah, Ayah," ujar Alby akhirnya, suaranya terdengar lebih tegas. "Aku akan menemani Juan terapi."

Jonatan mengangguk puas. "Bagus. Sekarang bersihkan dirimu. Jangan sampai terlambat besok."

Sepeninggal ayahnya, Alby masih terduduk di dalam bathtub. Air menetes dari rambutnya yang basah, seolah mencerminkan air mata yang tak sanggup ia keluarkan. Perlahan, ia bangkit dan mulai membersihkan diri.

Sementara air shower kembali mengguyur tubuhnya, pikiran Alby melayang pada sosok Juan. Bagaimana reaksi pemuda itu nanti saat melihatnya? Akankah ada kebencian di matanya? Atau justru... sesuatu yang lain?

Alby menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Apapun yang akan terjadi nanti, ia harus menghadapinya. Inilah saatnya ia benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang