5

734 81 1
                                    

Alby bergegas mengejar ayahnya di lorong rumah sakit. Wajahnya merah padam, campuran antara rasa malu dan frustasi yang membuncah.

"Ayah, tunggu!" serunya, suaranya bergetar menahan emosi. Ayahnya berhenti dan berbalik, menatapnya dengan alis terangkat.

"Apa yang Ayah pikirkan?" Alby berbisik tajam, berusaha menjaga suaranya tetap rendah. "Menikahkanku dengan... dengan dia? Seorang laki-laki yang bahkan tidak bisa bicara? Ayah pikir itu akan menyelesaikan masalah?"

Alby mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Ini bukan hanya tentang tanggung jawab, Ayah. Ini tentang masa depanku! Bagaimana aku bisa menjalani hidup normal jika harus terikat dalam pernikahan semacam itu? Apa kata teman-temanku nanti? Semua impianku?"

"Alby!" Ayahnya berteriak, membuat beberapa perawat menoleh ke arah mereka. Menyadari di mana mereka berada, ayah Alby menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia melangkah mendekat, mencengkeram bahu Alby dengan kuat.

Dengan suara rendah namun penuh penekanan, ia berkata, "Dengar, nak. Kita akan bicarakan ini di rumah. Sekarang bukan waktu dan tempat yang tepat."

Mata ayahnya menatap tajam ke mata Alby, seolah berusaha menanamkan setiap kata-katanya ke dalam benak putranya. "Yang perlu kau ingat adalah, kau hampir menghancurkan hidup seseorang malam ini. Kita beruntung dia masih hidup. Jadi berhentilah bersikap egois dan pikirkanlah konsekuensi dari tindakanmu."

Alby terdiam, matanya berkaca-kaca menahan air mata frustasi yang mengancam tumpah. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ini tidak adil, tapi lidahnya kelu di bawah tatapan ayahnya yang penuh kekecewaan.

"Ayo," ujar ayahnya sambil melepaskan cengkeramannya dari bahu Alby. "Kita pulang."

Dengan langkah gontai, Alby mengikuti ayahnya menuju parkiran. Pikirannya berkecamuk, membayangkan masa depan yang tak pernah ia impikan - terikat dalam pernikahan dengan seseorang yang bahkan tak bisa mengucapkan namanya.

Mobil mewah keluarga Alby melaju dalam keheningan malam. Jalanan kota yang biasanya ramai kini lengang, seolah memberi ruang bagi ketegangan yang mengambang di dalam kendaraan itu. Jonatan, ayah Alby, fokus menatap jalanan di depan, tangannya menggenggam erat setir mobil. Sesekali, Gebby - ibu Alby - melirik ke arah putranya melalui kaca spion, lalu kembali memandang keluar jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkedip-kedip seperti bintang redup.

Alby duduk diam di kursi belakang, pikirannya melayang jauh. Matanya kosong menatap pemandangan yang bergerak cepat di luar jendela, namun benaknya dipenuhi bayangan masa depan yang kini terasa asing dan menakutkan. Ia membayangkan hari-harinya yang penuh gemerlap dan kebebasan, kini harus terkurung dalam ikatan pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Desah napas berat sesekali lolos dari bibirnya, menyuarakan kegelisahan yang tak mampu ia ungkapkan.

Setibanya di kediaman mewah keluarga Alby, Jonatan segera melangkah menuju ruang keluarga. Dengan suara tegas, ia memanggil nama putranya yang hendak langsung menuju kamar. "Alby, kita perlu bicara."

Alby berhenti di tangga, berbalik dengan wajah keras. "Jika Ayah punya solusi lain selain menikahkanku dengan si bisu itu, baru kita bicara," ujarnya dingin.

Amarah seketika berkobar di mata Jonatan. "Apa kau lupa siapa aku, Alby?" tanyanya dengan nada mengancam. "Apa kau tidak ingat posisiku? Aku harus menjaga citra keluarga kita dan jabatanku!"

 "Apa kau tidak ingat posisiku? Aku harus menjaga citra keluarga kita dan jabatanku!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keluarga Alby memang bukan keluarga biasa. Jonatan, sang ayah, adalah seorang Kapolri - jabatan tertinggi di kepolisian Indonesia. Sementara Gebby, ibunya, menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah DJBC Jakarta. Posisi mereka yang tinggi di pemerintahan membuat setiap langkah keluarga ini selalu menjadi sorotan publik.

Jonatan menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Alby, dengarkan ayah," ujarnya dengan nada lebih lembut. "Ini adalah solusi terbaik untuk kita semua. Kau tidak perlu khawatir, uang sakumu tidak akan berkurang. Ayah akan selalu memberimu seperti biasa."

Alby terdiam, tak mampu membantah lagi. Ia menatap ibunya dengan pandangan memohon, lalu berjalan mendekat dan merengek sambil memeluk Gebby. "Ibu..." bisiknya lirih.

Gebby tersenyum lembut, tangannya membelai rambut putranya dengan penuh kasih sayang. "Tidak apa-apa, sayang," ujarnya menenangkan. "Ibu yakin kau bisa melewati semua ini. Kau anak yang kuat, Alby.”

Gebby mengusap lembut punggung Alby, lalu melepaskan pelukannya dengan hati-hati. "Sudah, sayang. Sekarang kau bersih-bersih dulu, lalu tidurlah yang nyenyak. Besok pasti akan lebih baik," ujarnya dengan senyum menenangkan.

Alby mengangguk lemah, lalu berjalan gontai menaiki tangga menuju kamarnya. Suara pintu tertutup terdengar pelan, menandakan Alby telah masuk ke kamarnya.

Setelah memastikan Alby tidak dapat mendengar mereka, Gebby berpaling pada Jonatan. Wajahnya yang tadi lembut kini berubah serius. "Bagaimana dengan TKP?" tanyanya dengan nada cemas.

Jonatan menghela napas panjang, terlihat jelas beban berat di pundaknya. "Aku sudah menelepon Pak Bambang untuk mengurusnya," jawabnya dengan suara rendah. "Mobil Alby akan diantar oleh bawahanku, dan TKP sudah dibersihkan sesuai permintaanku."

Mendengar jawaban suaminya, Gebby akhirnya bisa menghela napas lega. Ketegangan di wajahnya sedikit mengendur, meski kekhawatiran masih terlihat jelas di matanya.

Jonatan melangkah mendekati istrinya, tangannya memegang bahu Gebby. Tidak ada kehangatan romantis dalam gestur itu, hanya sentuhan formal sepasang suami istri yang telah lama menikah.

"Semua akan baik-baik saja," ujarnya dengan nada datar namun meyakinkan. "Tidak akan ada reporter yang mencium masalah ini."

Gebby mengangguk kaku, matanya menatap lantai. Tidak ada balasan hangat atau pelukan penuh kasih. Hanya dua orang dewasa yang berdiri berdampingan, sama-sama memikul beban berat rahasia keluarga mereka.

~TBC

Voiceless Ties [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang