Sepertinya sekarang jam kosong. Karena sejak tadi si guru agama belum menampakkan batang hidungnya.
Sepertinya kamu tidak menujukkan kemajuan apapun. Karena sejak tadi kau belum memenangkan game itu juga.
Anak-anak perempuan di kelas mulai ngerumpi. Tapi entah kenapa aku tidak tertarik untuk bergabung.
Anak-anak laki di sekelilingmu mulai pergi. Entah kenapa mereka tak tertarik lagi memberimu tips dalam berburu.
Aku tak tahan. Aku memang kesepian. Aku butuh teman. Aku menghampiri Yosi, yang sedang tertawa-tawa bersama Dayat.
Kau tak tahan. Kau memang tidak bisa membunuh semua zombie di hutan sialan itu. Kau butuh refreshing. Kau menghampiri Dayat, yang sedang tertawa-tawa bersama Yosi.
Kita datang hampir bersamaan.
Ledakan di jantungku setiap kali kau menatapku itu hampir hilang.
Kau bersumpah pada Dayat dan Yosi kau tidak sengaja sampai di meja mereka bersamaku.
Aku bersumpah pada diriku sendiri bom itu masih ada jauh di dalam sini menyekat nafasku.
.
"Kenapasih kalian selalu ngapa-ngapain berdua?"
"Dia yang ikut-ikutan!" Kita menjawab pertanyaan Yosi bersama-sama.
Dayat menggeleng-geleng.
Kau penasaran. Kau selalu penasaran, "lagian lo ngapain sih disini? Ini kan tempatnya cowok-cowok."
"Yeeee, serah gue kali mau kemana!"
"Yang gue tanya, lo ngapain?" Kau mengubah nada bicaramu. Selalu seperti itu. Dasar sok dingin.
"Mau main sama Yosi."
"Yosi? Kenapa Yosi?"
"Ya terserah kali dia mau main ama siapa!" Yosi membelaku. Dan memberiku sebuah tos.
Kau senderan di tempat dudukmu dengan wajah tidak suka. Aku senderan di tempat dudukku dengan wajah menang.
Yosi dan Dayat yang menghadap kita tertawa. Aku yang duduk disebelahmu menoleh, kamu yang duduk disebelahku cemberut. Yosi, Dayat, dan aku yang duduk disekitarmu tertawa lepas.
"Napa sih, cemburu ya?" Godaku.
Kau menjawabku dengan melipat kedua tangan di dada.
"Ahahahah, masa lo cemburu sih, Van," Dayat akhirnya mengeluarkan suaranya.
Kemudian kau memberikan jawaban yang sebenarnya sangat terduga, "ya jelas lah."
.
"Ga ada yang bawa mainan apa?" Aku mengeluh. Aku yang perempuan sendiri disudutkan oleh mereka yang membahas hal-hal asing bagiku. Dan aku mulai bosan.
"Ini malah nyari mainan," Dayat mengomentari.
"Mai, Mai. Lo kok kayak anak kecil sih," Yosi mengomentari.
"Duh," kamu mengeluh.
Begitu saja.
Kamu mengeluh. Aku yang lemot dan tidak bisa mengikuti topik asik ini malah memotong pembicaraan. Dan aku yang dari tadi bermain lempar-tangkap penghapus dengan diriku sendiri ini mungkin mulai menyebalkan karna penghapusnya terus mengenai kepalamu.
"Ih."
"Apaan sih..." Yosi mengira aku mengerutkan alis karenanya.
"IH DIA BUKAN ELO."
"Apa coba salah gue," Dayat memang cool tapi ia mengira aku cemberut karenanya.
"EVAN BUKAN ELO."
Dan kamu pun kembali.
Kamu-yang-dulu.
Merubah arah dudukmu agar berhadapan denganku--
menatapku seolah ingin merasukiku--
mengambil kedua tanganku-- tapi gagal--
dan mengubah nada bicaramu menjadi sehangat kepala Ika saat marah.
Aduh, plis-- gue gamau ngulang kesalahan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Teen FictionAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...