Empat?

220 21 1
                                    

Pentas seni.

Aku harus pergi ke kamar mandi. Tapi teman-temanku tidak ada yang mau menemaniku. Baiklah.

Kau ada dua belas meter didepanku. Dengan lima temanmu yang bukan dari kelas kita. Terus mendekatiku. Tidak berhenti berjalan.

Aku harus mengatakannya. Tapi ada teman-temanmu yang menemanimu. Tak apalah.

Aku ada tiga meter didepanmu. Dengan gugup aku mengucapkan kata-kata itu. Sambil terus berjalan. Tidak berhenti mendekatimu.

"Wey, Van! Habede."

"Belom."

"Biarin."

Gue juga tau kali. Orang dari jam 8 gue pelototin hape terus nunggu midnight.

Beberapa detik setelah momen canggung yang untungnya pendek itu terjadi, aku tidak memutar balik. Aku tidak perlu melihat punggungmu. Aku tidak mau menyesal telah memberi ucapan bodoh itu.

Beberapa minggu yang lalu saat kau tak sengaja memberi tahu Raffi kapan ulang tahunmu, aku tidak pernah melupakannya. Walaupun aku tidak perlu memberimu sebuah 'selamat ulang tahun' sih. Tapi aku tidak mau menyesal telah melewatkan kesempatan untuk menjadi pengucap pertama.

Dan akhirnya aku mengucapkannya. Tak tahu kenapa. Tapi aku lega. Jam 23.46 itu lumayan.

Dan ternyata kau tersenyum saat suaraku berkata begitu. Tak tahu kenapa. Apakah kau senang? Jam 23.46 itu termasuk tengah malam kan?

Ah. Tapi aku menyesal karena mungkin kau akan mengira kau begitu penting dalam hidupku sampai-sampai baru beberapa minggu kenal saja aku sudah menunggu-nunggu hari lahirmu.

Ah. Saat itu aku belum tahu kalau aku lah yang begitu penting dalam hidupmu sampai-sampai baru beberapa bulan kenal saja kau sudah menunggu-nunggu hari dimana aku akan membalas perasaanmu.

Aku terus berjalan. Sekarang sudah tiga puluh lima meter dibelakangmu. Kamar mandi di sebelah kanan.

Kita terus menjauh. (Sekarang-- masa kini-- juga semakin jauh). Aku senang bisa berada disebelahmu.

(Lagi.)

.

Kali ke-4 olahraga di kelas 11.

"Hey, cepet sini!!"

"Kak, kita dipanggil Julia itu ayo kesana," aku menggandeng Ika.

"Aduh lama banget, cepetan keburu kelewatan!!"

Aku dan Ika bergabung dengan Julia, Ines, dan Acha. Bingung harus apa, aku hanya mengikuti arah kepala mereka. Tiga cewek yang sedari tadi tak berkedip ini ternyata tengah melihat aksi si ganteng bermain basket.

Bayu, maksudku.

Mereka bertiga memekik saat Bayu tidak berhasil memasukan bola ke ring.

Dan saat Bayu berhasil melakukannya, mereka memuji si abas berulang kali.

Oh, dasar cewek.

Tapi lihatlah aku sekarang. Ikut duduk dan memelototi hiburan pertama di pagiku yang cerah layaknya cewek normal umur 13-20.

Lihatlah Ika juga. Ikut menjerit ngefans dan memelototi pujaan hatinya (dan 12 cewek lainnya di kelas) yang hanya memakai sleveless top itu.

Percayalah-- seperti ini kehidupan cewek-cewek SMA.

Dan aku juga percaya-- pohon besar di dekat lapangan ini ternyata memang sangat bermanfaat.

Sebagai tempat persembunyian lima cewek remaja, misalnya.

"Eh, Andri juga ikut main!"

"Itu Yosi sama Hendra juga jalan kesitu."

"Aaahh!! Ada Dayatku!!"

Iya, yang terakhir itu adalah teriakanku. Dan iya, teman-temanku serempak menoleh karena imbuhan ku yang mungkin salah kuletakkan itu.

Kita memata-matai lima cowok ini dengan penuh konsentrasi (dan kekaguman) sampai akhirnya Julia menemukan sesuatu yang menarik.

Kamu juga memperhatikan lima temanmu dengan penuh konsentrasi (dan keringat karena kau duduk persis di pinggir lapangan tanpa pohon yang dapat membuat tempat dudukmu teduh) sampai akhirnya kau mundur dan senderan di tiang bendera.

"Liat Evan deh," kata Julia, "ngga ikut basketan tapi kayak kecapekan gitu."

"Iya, males banget sih," Ines menambahkan, "malah nyantai pas semua temennya mainan."

Kau hanya duduk disitu tanpa menyoraki teman-temanmu.

Aku hanya memperhatikan tanpa memberi komentar.

Tiba-tiba ada bola yang mengenai betisku.

"Auw!!"

"Eh, sori sori, Mai!" Teriak Hendra dari kejauhan.

Yosi lari kearahku untuk mengambil bola, "sori, Mai. Dia gak sengaja itu!"

"Lo gapapa kan, Mai??" Teriak Hendra lagi. Aku menunduk untuk mengambil bola tadi.

"Hendra ngawur!!" Teriak seseorang.

Seseorang di pinggir lapangan yang sejak pagi tak ada suaranya namun ternyata melihat saat bola itu mengenai tubuhku dan sekarang dia sibuk menyalahkan teman sebangkunya.

Yosi akhirnya sampai di depanku, "lo gapapa kan? Sori banget lho."

"Halah gapapa, ngga kena bagian vital aja lho," aku bercanda sambil menyodorkan bola.

"Oh iyaya, harusnya sekalian kenain aja tadi," Yosi melet. Aku reflek memukulnya.

"Eh, apa sih?" Yosi malah cekikikan. Dia terus mundur untuk menghindari pukulanku. Padahal dengan gampangnya dia bisa menangkap tanganku.

"Jahat!" Kataku setengah berteriak. Tapi entah kenapa aku ikut tertawa melihat dia tertawa. Dan saat dia mau merebut bola di tangan kiriku, aku menghindar. Saat dia merebut lagi, aku mundur.

Di sela-sela tawaku dan Yosi aku dapat mendengar seseorang meminta kita agar jangan bermain-main sendiri.

Di antara semua orang di lapangan aku dapat melihat sepasang mata memperhatikan aku dan Yosi dengan mengerutkan alis.

"Iya iya, Van. Gausah sewot napa," kemudian Yosi mengecilkan suaranya, "ngga ikut mainan aja rempong lu."

Aku tertawa kecil dan menyerahkan bolanya, "oiya bilangin Hendra gue gak kenapa-napa. Kasian nanti dia bingung. Secara gue kan ahli banget bikin orang khawatir."

"Ih, khawatir apanya? Dia tuh takut kali!"

"Takut?"

"Yaelah, lo gatau apa kalo lo marah kayak apa? Mulut lo keluar apinya."

Aku tertawa tapi menyangkal, "enggaaakk!"

"Yeeee ga percaya," Yosi menjitak keningku pelan. "Trus mata lo bisa ngeluarin laser gitu. Serem deh."

"Apaan sih, pergi sana!" Usirku sambil tertawa.

Yosi lari ke lapangan dan bergabung ke teman-temannya. Aku kembali ke pohon besar dan bergabung dengan teman-temanku.

"Mai, lo sama Yosi kok lucu sih."

"Hah? Kok bisa lucu?" Aku tersenyum menanggapi Acha.

Aku melihat kearah pinggir lapangan. Yang dari tadi bersandar ke tiang bendera ternyata sekarang menoleh kearahku.

Aku mengalihkan pandangan saat kau pun kembali menonton teman-temanmu.

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang