"Lo suka sama siapa?"
Ekspresi Ika membatu. Hanya seperti itu. Poker face. Semua diam. Pertanyaan Ika menggema di telinga mereka.
Sedangkan di telinga kita? Berteriak-teriak minta tolong.
"Hah?" katamu dibalik ketenangan palsu itu, "ya jelas pacar gue lah, Kak."
"Enggak. Gue bilang suka-- bukan sayang."
"Maksud lo apa, Kak?" kau tertawa kosong.
"Ayo lah," Ika bersandar. "Orang yang udah sering pacaran kayak elo mah tau bedanya suka ama sayang."
Semua mata mengintrogasimu. Mataku sedang mengamati rautan milik Hesti kira-kira harganya berapa.
"Gue ga ngerti."
"Van, jawab jujur. Gue tau elo ngerti."
"Pacar gue, Kak... Itu jawabannya..."
Aku tidak pernah melihat muka sahabatku sedatar itu. Lebih parah lagi, karna kamu konsisten dengan jawabanmu, wajah Ika menjadi semakin dingin.
Ika adalah sebongkah es sekarang. Sebongkah es berkerudung yang pintar sejarah dan kemungkinan besar bisa marah mengetahui sahabatnya menyembunyikan sesuatu darinya.
"Bedain plis," Ika mengambil nafas, "orang yang elo suka, sama orang yang elo sayang."
Kau menghembuskan nafas, aku menahan nafas, astaga, aku bisa mendengar detak jantungku.
Eh, apa itu detak jantungmu ya?
"Oke. Fine. Iya gue boong," kau mengaku, "karna gue cowok gentle, gue bakal jujur."
Yosi tertawa sendirian.
"Maaf, Kak-- tapi gue beneran gabisa bedain. Orang yang gue suka dan sayang itu sama."
Julia protes, "lah, katanya mau jujur?"
"Iya... Dengerin dulu," jawabmu, "Sebenernya bukan pacar gue orangnya. Gue ga yakin sekarang gue masih suka ama Thalia-- apalagi sayang."
Kau mengangkat kepalamu.
Dengan memandang lurus, mata kita akan bertemu. Bertabrakan. Hancur.
Beberapa detik ini terasa seperti beberapa minggu.
Aku sedang meringkuk di balik tembok, menunggu sebuah ledakan.
"Jawaban dari pertanyaan lo itu orang ini, Kak," katamu.
Oh tidak.
"Gue suka sama Maidi."
Ah...
Semua kepala menoleh, dan sekarang aku yang diinterogasi. Mata mereka mencari sebuah penjelasan, seperti mungkin panah besar bertuliskan YA! EVAN SUKA DENGAN CEWEK INI!
Kelimanya memandangku, diam.
"Yey," kataku. Pilihan kata yang buruk.
Kemudian Ika minta ditemani ke toilet-- persis saat semuanya meneriakkan sejumlah pertanyaan dan menyodorkan mic mereka kearahku.
Aku bercanda.
Tapi bagian Ika meremas kerah bajuku dan menyeretku ke kamar mandi? Itu tidak bercanda.
.
Ika sedang berdiri di depan wastafel paling kanan, kain kerudungnya miring karena ia terus memegang kepalanya.
Aku berdiri di dekat pintu masuk, jaga-jaga bila ternyata sahabatku bisa menyemburkan api dari mulutnya.
"Gue masih gabisa nelen ini semua," Ika memejamkan mata. "Elo punya gue-- orang yang elo percaya bahkan sebelum lo kenal sama Evan dan--"
"Gue kenal Evan kelas 10 juga."
Bahkan dibalik kelopak itu aku sudah tahu Ika sedang melotot.
"Dan," ia melanjutkan, "lo memutuskan bahwa gue ga berhak tau tentang semua yang terjadi diantara kalian?"
Aku menarik nafas, lalu meng-cancel keluarnya nafas itu karena diancam kedua mata Ika yang besarnya seperti bola kasti sekarang. Belum lagi lubang hidung yang sama besarnya itu.
"Satu," jawabku setenang mungkin, "lo berhak tau, cuma gue ga pengen cerita aja. Dua-- apa maksud lo 'semua yang terjadi diantara kalian'?"
"Ya semua yang terjadi dian--"
"Tapi yang terjadi ga sebanyak itu."
"--Lo bisa gak sih gak motong?!?!"
Aku mengangkat bahu. "Sori."
Ika menghembuskan nafas sepanjang tali pramuka. Ia pasti kecewa.
"Kenapa lo ga pengen cerita?"
Melihat responku yang malah diam, Ika melanjutkan, "masa lo ga pernah sekali gitu butuh orang buat dengerin curhatan lo?"
"Ya butuh..."
"Trus?"
Ketika aku akhirnya berani mengangkat kepalaku, Ika sedang menatapku dengan kedua tangan di pinggang.
"Gue ga mau cerita, Kak... Karna..."
Ia menunggu. Dan aku memutuskan aku tak akan menunjukkan sisi lemahku bahkan ke sahabatku.
"Oke," giliran aku yang memegang kepalaku, "gue bukan orang yang rumit. Gue ga akan bikin ini seribet yang lo kira. Gue akan jelasin.
"Dengan cerita ke elo, Kak-- atau ke siapapun-- gue berarti nerima fakta kalo gue seneng ama dia. Ya-- emang bener sih-- tapi berat buat ngakuin ini. Gimana ya, gue itu udah punya pacar, Kak. Dan dia juga.
"Gue ngerasa bodoh banget kalo gue nyimpen perasaan gue. Parahnya, dia suka balik sama gue. Jadi tambah susah kan? Nah, gue ga tau Evan udah pernah cerita ke siapa tentang gue-- gue harap itu bukan ke pacar gue, walaupun ga mungkin sih-- tapi gue itu takut.
"Gue udah hampir setahun pura-pura kayak gaada apa-apa. Gue tau kalian semua tau. Gue sama Evan keliatan banget saling suka, gue tau. Tapi gue ga mau ngakuin itu, Kak. Bahkan ke diri gue sendiri. Gue masih berusaha buat mikirin pacar gue. Gue berusaha buat jatuh cinta lagi ke Faris-- tapi sampe sekarang Faris gak bisa bikin gue balik ke dia."
"Atau, dia cuma gatau aja kalo hati lo udah direbut orang lain."
"Yaa," aku menoleh ke kaca dan melihat diriku berkaca-kaca. Haha. Lucu. "Bener juga."
Kita membiarkan angin menculik suara kita. Keheningan menemani hanya beberapa detik, sampai Ika mengangkat kakinya untuk berjalan kearahku.
Ia memelukku.
Dan tanpa berkata apapun aku bercerita semua tentangku dan kamu, dengan cara membalas pelukannya.
Aku jadi menyesal tak membiarkannya ada disampingku setiap aku memikirkanmu. Dia bisa menghentikan tangisku.
Aku juga menyesal tak menjadikan Ika topik kegalauanku selama ini. Kehilangan dia mungkin bisa membuatku gila.
Aku dan Ika melepas pelukan kita dan bertanya pada batin masing- masing.
Yang terjadi setelah ini adalah kita menangis atau kita tertawa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Teen FictionAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...