Enam

184 16 0
                                    

"Van..."

"Iya?"

"Maaf ya."

"Kenapa?"

"Ya gue kemaren," aku menunduk untuk menghindari matamu.

"Lho, Mai, jangan..." kau menunduk untuk mencari mataku. "Gue gapapa kok. Gue udah maafin-- eh, enggak-- lo ngga salah apa-apa, Mai. Lagian aku malah seneng."

Aku tertawa kecil. Lucu sekali saat kau gugup setiap membicarakan ini. Lucu juga saat kau mengubah panggilan lo-gue kita.

Tapi memaksakan sesuatu untuk terlihat lucu itu sebenarnya sangat menyedihkan.

"Hei, jawab dong..."

"Mau jawab apa?"

"Ya terserah kamu."

Aku menghela nafas, "Van, lo nggak ngerti. Ah-- kamu nggak ngerti. Aku itu udah giniin kamu, ga sadar apa? Aku ini jahat."

"Kamu nggak jahat..."

"Aku sekarang ngerasa bersalah banget. Kamu ngga bakal ngerti rasanya."

"Aku ngerti kok."

"Masa?"

"Iya!"

"--bodo," tukasku datar.

"Ayolah, Mai. Lo tau bercanda ga bisa ngilangin topik ini," kau sekarang sudah memegang tanganku.

Aku menoleh. Matamu-- raut wajahmu-- memberitahuku bahwa keseriusanmu nyata.

Di sisi lain, keseriusanmu itu menyiksaku lebih parah.

Aku berdiri. Sejak tadi si guru belum kembali dari mengambil laptopnya. Aku padahal sudah mengobrol banyak denganmu. Aku berjalan kearah Ika.

Untungnya bangku sebelah Ika sedang kosong karena teman sebangkunya tidak masuk. Aku duduk dan menyender ke sahabatku.

"Eh, lo kenapa??"

Aku menyembunyikan wajahku dengan buku tulis angry birds milik Ika. "Mmmmhh," jawabku.

Di ujung sana, aku mendengar kau mengeluarkan suara batuk khasmu. Aku bahkan hafal itu.

Dan dari arah sana juga, aku mendengar kau membanting buku fisikamu. Aku juga hafal kebiasaanmu kalau kesal itu.

Tepat saat aku ingin menjelaskan ke Ika apa yang terjadi antara aku dan kamu, si guru-kura-kura-yang-lama-sekali-mengambil-laptopnya itu datang.

"Maaf, semua! Karena waktunya terbatas, kita harus ulangan sekarang," kata pemuda yang kebetulan mengajar fisika di sekolahku itu.

"Maaf, Kak. Karena tidak ada waktu, aku harus menunda cerita besar ini," batinku diantara dua puluh sembilan anak lainnya yang tengah mengeluh.

Aku membuka tempat pensilku mencari bolpen.

Oiya sih. Bolpen gue ada di Evan.

.

"Kak."

Ika tidak menjawab.

"Ika," bisikku lebih keras.

Ika belum menjawab juga.

"Ih," keluhku. "Pinjem stippo."

Ika tidak berhenti menulis.

"Fine."

Aku sekarang sedang melihat lembar kerjaku. Ada coretan vertikal panjang yang tidak sengaja kutambahkan saat aku tidur setengah detik tadi.

Aku sekarang sedang berpikir keras. Ada coretan tebal yang menjelek-jelekkan essay indahku yang kutulis dengan penuh perjuangan.

Ingin menangis rasanya. Namun tiba-tiba ada benda merah yang jatuh tepat di tengah kertas ulanganku.

Sebuah stippo!

Rasanya ingin kucium sahabatku itu. Namun saat aku membisikkan terimakasihku ternyata ia belum mau meresponku juga.

Biarlah. Aku pun menghapus garis hitam menyebalkan itu.

Panjang banget sih kayak ingus.

"Nih, Kak. Makasih," aku menyodorkan sebuah stippo ke sebelah kananku.

Ternyata, kali ini Ika menoleh. Ia melotot melihat kertasku yang sekarang memiliki sebuah garis putih panjang ditengahnya.

"Buset, banyak banget!" Kata Ika yang kemudian diikuti sebuah SSSHHHH dari penjuru kelas.

Ternyata, ia sebal denganku yang sudah meminjam bolpen, pinjam stippo pula. Ia menatapku sinis sebelum akhirnya menambah garnish di ulangan fisikanya yang lezat.

"Ayo ngumpulin," kataku melihat Ika yang sudah selesai menulis nama.

"Lo kok udah? Lo kan ga bisa fisika," ujar temanku yang kejujurannya menyakitkan itu.

"Justru karena ga bisa gue cepet selesai. Gue gatau mau ngarang apa lagi."

Nampaknya ia senang mengetahui nilainya akan lebih bagus dari nilaiku. Senyum sombongnya itu menunjukkan kalau ia sudah memaafkanku.

Ika menepuk bahuku sebelum kemudian berjalan ke depan kelas.

.

TEEEEETT.

Itu bel istirahat. Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan bentuk bunyinya.

Intinya, ini sudah istirahat.

"YOSI JANGAN KELUAR DULU!"

Teriakanku berhasil mencuri perhatian Yosi, "APAAN SIH NENEK SIHIR BERISIK LO."

"HIDAYATULLAH JUGA JANGAN KELUAR."

Dayat yang super kalem itu hanya berhenti berjalan, dan berbalik. Berdiri. Menatapku sambil menyilangkan tangan di dada seperti berkata: sampe apa yang elo ngomongin kagak penting, gue jambak.

Aku berlari kearah mereka, "MAIN TE-O-DEEEEE!"

"APA?! T O D?" Julia ternyata mendengar suaraku.

"HAH? SIAPA MAIN T O D?" Ika mengangkat kepalanya dari hapenya. "MAIDI-- ELO KOK GAK NGAJAK SOHIB LO SIH?!"

Julia dan Ika yang langsung berlari kearahku itu membuat Yosi dan Dayat kabur.

"Ayo main ToD," ajak Julia dengan senyum manisnya.

"Sama gue ya," Ika mengajukan diri dengan senyum pepsodent.

"Hiiiihh!"

Keluh kesalku membuat mereka mengerutkan kening.

"Oke, fine. Tapi tunggu Dayat sama Yosi. Gue cuma mau main sama mereka. Awas kalo mereka ga balik."

"Yey!" Kata dua wanita didepanku. Mereka tidak jadi bingung.

"Berlima doang nih?" Tanya Julia.

"Berenam."

Suara yang sangat kukenali itu mendekat, membuatku reflek menutup mata.

Aku mengatupkan bibir sebagai tanda penyesalanku telah meneriakkan undangan bermain ToD tadi.

"Yakan, Mai?" Katamu memastikan persetujuanku.

Aku membuang nafas panjang.

"Iya."

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang