Delapan?

173 17 3
                                    

Hari ke-89 di kelas 11.

"Ayolah, Mai, gausah nangis. Tadi teriak-teriak kenapa sekarang jadi diem gini?"

"Gue ga nangis, Yos. Ah."

"Ya nangis dalem hati..."

Yosi bukan orang yang pandai menghibur orang sedih.

"Plis, sana."

"Yaelah gue diusir..."

"Makasih udah nyariin plester. Sana."

"Sori lho, Mai..."

"Iya aduh, gue itu ngga bete gara-gara elo."

"Sumpah? Pasti gara-gara Evan??" Aku tak menjawab. "Oke. Iya deh gue pergi. Dadah. Huh gue lega."

Yosi benar-benar pergi.

Dasar nggak peka.

Yosi bermain-main bersama anak lainnya setelah itu. Ia tak berkata apa-apa padamu. Kau sendiri sedang bermain hape di tempatmu. Itu membuatku kesal.

Aku duduk sendirian di kursiku yang kebetulan sejajar dengan kursi Dayat. Sambil sedikit berharap Dayat akan bertanya keadaanku, aku mengambil pensil dan menyobek kertas dari buku tulis sejarah.

Kemudian mulai menulis.

Sulit sekali menulis puisi di kelas yang ramai seperti ini. Apalagi dengan keadaan emosionalku yang tidak stabil.

"Lo kenapa, Mai?"

Aku hitung kejadian tadi sebagai keajaiban dunia yang kedelapan karena tidak mungkin seorang Hidayatullah membuka percakapan denganku, apalagi menanyakan alasan mengapa aku menulis kata-kata dalam bentuk bait di sehelai kertas sobekan.

Maksudku-- astaga-- siapa yang peduli.

Aku memang ingin diperhatikan Dayat tapi aku baru menulis di kertas biasa, belum mencorat-coret meja guru dengan stippo raksasa.

Jika boleh bertepuk tangan-- astaga-- aku bahkan akan bertepuk kaki terhadap kepekaannya yang luar biasa ini.

"Gapapa," kataku tanpa mengangkat kepala sedikitpun. Sebentar saja, aku berhasil membuat dua bait puisi.

Tapi puisi itu jelek dan aku meremas kertas itu menjadi bola kemudian membuangnya ke kolong meja.

Aku mencoba membuat lagi namun yang ini dua kali lipat lebih jelek dari yang tadi, jadi aku mencorat-coret kertas ini dengan pensil.

Pensil itu kemudian patah dan membuat Dayat tertawa.

Tadi merupakan keajaiban dunia kesembilan karena tidak mungkin seorang Hidayatullah tertawa sendiri melihat patahan pensilku bergelinding di atas meja.

Aku tak peduli karena tawa ringan milik Dayat berarti ngakak bagi orang normal. Aku menoleh secepat orang kesetrum.

"Kok ketawa??"

"Kenapa emang?"

"Elo susah ketawa!!"

"Biasa aja."

"Beneraaaann!!"

Dayat tak menjawab. Orang ini mempunyai 'kapasitas kata perhari' hanya setengah dari kapasitas yang kumiliki.

Aku kembali ke buku tulisku dengan menoleh kasar, membuat rambutku yang diikat terlempar.

"Pms ya?"

Tebakan Dayat membuatku berhenti menulis.

"Kok tau?"

"Ya gitu."

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang