Delapan Belas

95 11 1
                                    

"Eeemm..."

"Punyamu?"

"Bukan!" jawabku. "Kamu ngapain disini?"

Faris menggaruk-garuk kepala. Rambut coklat-kemerahannya cocok dengan warna kacamatanya.

"Kenapa? Ga boleh?"

"Ya boleh..."

Aku mulai merasakan beberapa pasang mata mengarah ke sosok di depanku. Kebanyakan perempuan.

"Ini udah pulang sekolah kan?"

"Udah, lah. Pada keluar semua gini."

Di tangan Faris ada jaket dan kunci mobil. Aku tidak peduli. Di tangannya tidak ada apapun yang berhubungan denganku.

"Yuk, pulang."

"Pulang?"

"Iya, lah."

Di ujung sana sudah banyak yang yang menunjuk si siswa sekolah lain ini. Cekikikan.

"Yang," panggilku. Terdengar aneh. "Pake jaketmu."

"Kenapa?"

"Pake aja," paksaku. Ia tak bergerak. "Ayo pake!"

Faris mengenakan jaketnya. Dengan begini, badge yang berbeda bentuk itu tidak akan terlihat.

"Kamu mau apa?"

"Mau apa?" tanyanya heran. "Aku mau jemput kamu! Ada yang salah sama itu?"

"Tapi aku ga minta dijemput!"

"Ya ini kan surprise, Yang," jelasnya. "Mana mungkin kamu tau? Apalagi minta."

Aku diam. Ia tidak bersalah. Ia diam. Aku tidak ingin berada dimanapun dengan dia.

Nada tingginya masih tersisa di telingaku. Harusnya aku sudah terbiasa dengan itu sekarang.

Tekad kuat itu masih terpampang di matanya. Harusnya aku sudah duduk manis di mobilnya sekarang.

"Ayo ke kantin," tawarku.

"Nggak mau."

"Sebentar?"

"Nggak usah, Yang."

Aku mencari alasan, "aku pengen minum."

"Di mobil ada," balasnya. "Jus stroberi. Kesukaanmu."

Aku kaget lelaki super-cuek ini ingat minuman favoritku.

Aku kaget penampilannya berubah--- jadi lebih rapi.

"Ayo duduk dulu."

Faris pun mengikutiku ke kursi kayu di bawah pohon.

Faris duduk, mengambil nafas lalu membuangnya.

Faris bersandar ke dinding, menatap kosong ke lapangan dan memainkan kunci mobilnya.

Faris tak berbicara sama sekali dan itu merupakan 10 menit terburukku selama kelas 11.

Faris, Faris, Faris... Kenapa kamu ada di sini?

"Kenapa kamu tiba-tiba jemput aku?"

Aku mendengar keramaian, tapi tak satupun unsurnya berasal dari mulut Faris.

"Kamu bukannya latian band kalo hari Rabu?"

Aku melihat banyak hal bergerak, tapi kedua bibir Faris tetap pada tempatnya.

"Sayang..."

"Kamu nggak tau ini hari apa?"

"Maksud---"

"Tanggal berapa?"

Tanggal.

Sudah pasti jawabannya antara hari ulang tahunnya, atau hari anniversary kita. Dan berhubung hari jadi kita adalah tiga bulan yang lalu, maka---

"Astaga."

Matahari sore memantulkan cahayanya lewat kacamata Faris. Pasti mereka bersekongkol--- supaya aku tidak bisa menatap mata kekasihku.

"Aku..."

Angin sore berlalu-lalang menyapu wajahku. Pasti ia yang mencuri suara milikku--- berhubung aku tak bisa berkata apa-apa sekarang.

Kata Faris seperti ditato di pikiranku.

Tintanya asam, karenanya otakku meleleh.

Aku tak protes.

Karena kekasih yang tak setia pada pasangannya,

Pantas menerima hukuman apapun.

.

"Gue cariin!"

Suaramu memecah keheningan. Suaramu menghambat tangisku yang hampir pecah.

"Gue kira disembunyiin Hendra."

Langkahmu terus bertambah. Langkahmu tambah dekat kesini.

"Gue kira tas gue kekunci di kelas. Eh malah ga ada."

Kakimu berhenti disebelah kakiku. Jantungku berhenti karenamu.

"Sini," pintamu.

Aku mengumpulkan sisa-sisa jiwaku untuk mengangkat tasmu. Rasanya berat. Padahal isinya hanya udara dan sebuah pensil curian.

"Makasih udah diambilin."

"Iya."

Kau diam sebentar, "Mai, lo kok lo kaku banget sih?"

Aku diam lama.

"Eh? Itu siapa?" otak tuamu akhirnya menyadari ada orang di sebelahku. "Lo kok pacaran sama orang lain, sih?"

Deg. Mati gue.

Bersamaan dengan itu, Faris yang awalnya menunduk jadi menoleh. Bersamaan dengan itu, jantungku yang awalnya mati jadi melarikan diri.

"Sori, gue ga ikutan," kata jantung kecilku. Jantung sialan.

Faris dengan suara dinginnya bertanya, "apa lo bilang?"

Kau membelalak. Bahumu kaku. Seluruh tubuhmu seperti habis diseterika.

"Gue juga ga ikutan," kata kedua matamu. Saking melototnya kamu, bola mata itu copot.

"Oh--- elo!" jiwa aktingmu mengambil alih. "Gue... Gue kira siapa!"

Faris tak menjawab. Aku kasihan padamu.

"Ya... Kalo gitu--- bagus deh," kau bilang diiringi tawa kecil. "Bagus kalo... Maidi lagi pacaran... Sama pacarnya. Iya."

Faris menatapmu sinis. Kasihan kamu.

"Oke... Emmm, kalo gitu, gue pulang dulu ya!" pamitmu tiba-tiba. Kau kemudian pergi begitu saja.

Hampir di gerbang sekolah, kau balik badan dan melambai lagi, "dah, Mai!"

Aku ingin mati.

"---Faris!"

Aku benar-benar ingin mati.

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang