Yosi yang membawa siomay-batagor dan es teh masuk ke kelas, panggikanku mengagetkannya. Dayat yang menenteng sepiring mie goreng dan sebotol air mineral mengikuti kemudian, panggilanku membuatnya kesal.
Dua cowok itu makan di meja mereka sambil menatapku datar. Dua cewek disampingku dengan manis menunggu mereka selesai makan.
Mungkin bermain ToD bersama tiga perempuan hiperaktif bukanlah ide yang bagus. Tapi mungkin menghabiskan hari membosankan ini dengan aku, Ika, dan Julia bukanlah ide yang buruk juga.
"Tunggu kita selesai makan ya," jawab Dayat, sopan seperti biasa.
"Oke sayang," jawabku, keceplosan seperti biasa.
Kekaleman Dayat membuatku kagum yang membuat Ika ikut salting yang membuat Julia tertawa yang membuat Yosi menoleh dengan bibir berhias bumbu kacang.
"Jangan manggil ayang gue sayang," kata Ika tiba-tiba.
Aku baru akan menjelaskan ketika kau menjatuhkan diri di kursi sebelahku. Kau baru akan menyandarkan bahumu di aku ketika aku langsung menjauhkan kursiku darimu.
Kau memecah kecanggungan, "yuk main! Nih gue udah ambil botol minum gue."
.
Enam orang duduk melingkari satu meja. Dua orang di pinggir yang kebetulan duduk berhadapan ini harus menahan keresahannya.
Enam orang duduk melipat tangan mereka di meja. Dua orang di pinggir yang kebetulan bisa saling telepati ini harus menahan agar tidak saling beratatapan.
Enam orang duduk menunggu botol berhenti berputar. Dua orang di pinggir yang kebetulan memiliki rahasia besar ini harus menahan agar tidak mengernyit saat tutup botol menunjuk kearahnya.
Lima orang duduk dan serempak menoleh ke arah satu orang. Dua orang yang kebetulan duduk berhadapan dan sekarang saling menatap ini menahan nafasnya.
Lima orang serempak bertanya, "ToD?". Satu orang yang kebetulan bernama Evan itu dengan cepat mengatakan pilihannya.
"Truth."
.
"Aduh banyak banget pertanyaannya, gue bingung!" Kau kesal karna Ika, Julia, dan Yosi rebutan memberimu pertanyaan. "Yosi aja, lah."
"Ah tapi pertanyaan gue lucu!" Ika tetap memaksa.
"Kak, pertanyaan elo gak penting sama sekali tau nggak. Masa menu favorit pas bulan puasa? Plis deh," aku memutar bola mata.
"Iya, harusnya itu rahasianya dia gitu lho," Julia membelaku.
"Gue tau!" Ujar Yosi.
"Apa salahnya? Gue kan cari referensi buat katering ibu gue..."
"Gue tau, woy!"
"Haduh, Kak. Tapi ngga pas main ToD juga kali!"
"Iya nih!"
"Gaada yang mau nanya apa gue tau apaan?" Yosi yang sedari tadi dikacangi mulai bete.
Dayat menanggapi sahabatnya, "iya iya. Apaan Yos?"
"Haha. Tapi lo jawab ya, Van," tantang Yosi.
"Iya, emang apaan sih pertanyaannya?"
Yosi tersenyum sendiri selama beberapa detik.
"Apa yang elo lakuin pas sholat Jumat empat minggu yang lalu?"
Kau melotot. Dayat bingung. Aku, Ika, dan Julia serempak berkata, "haaahh??"
"Yos, jangan gitu lah..." kau memohon, "ganti pertanyaannya."
"NGGAK."
Kau memasang tampang kesal sekaligus malu yang sebenarnya agak imut, tapi kemudian kau mengangguk.
"Oke. Karna gue jujur dan gentle dan gak ngeselin, gue bakal jawab. Tapi gue bakal bales elo, Yos," kau melirik Yosi sebentar. "Huh. Ceritanya gini."
Lima orang yang duduk disekitarmu memasang tampang serius sekaligus penasaran. Sebenarnya saat ini aku sedang sangat lega, karna kau tidak dapat pertanyaan yang aneh-aneh.
Kau bercerita sambil menatap meja.
"Gue sama Yosi pas itu sholat Jumat di masjid yang sana-- yang gede itu lho-- deketnya apa sih," kau berbicara sambil menunjuk-nunjuk langit. "Ah lupa gue. Pas itu cuma gue ama dia doang soalnya mau ke rumah dia ngambil laptop trus mau servis laptop, nah gue yang tau tempatnya."
Kau menoleh ke Yosi sebentar.
"Oke itu nggak penting. Nah arah situ tuh rame banget, gila, semua masjid penuh. Yakan, Yos?" Setelah anggukan Yosi, kau pun melanjutkan, "jadi gue nyari masjid gede kan. Pas ngikutin jalan gitu, gue masuk-masuk gang. Kali aja ada masjid gede kan yang nggak di jalan raya, trus gue gatau.
Eh ketemu tuh, masjid bagus trus lumayan sepi. Ngga gede-gede amat sih, tapi mayan. Pas kita nyampe, ternyata kita telat gara-gara muter-muter ga jelas tadi. Untung masih khotbah. Akhirnya cepet-cepet wudhu. Yaudah lah, sholatnya diterima apa ga diterima gue ga peduli pokoknya sholat. Selesai."
Julia bertanya tentang gang mana yang kau maksud. Dayat berkomentar tentang kalian yang telat sholat Jumat. Ika membayangkan ekspresi panik Yosi yang pasti sangat kocak. Sedangkan Yosi yang merupakan tokoh di cerita itu sibuk menyangkal.
"Heh! Ceritanya ngga kek gitu!"
"Lho, apa?? Emang gitu kok!"
"Enggak, ada bagian yang elo nggak ceritain!"
"Ya kan ada bagian yang ngga gue ceritain, bukan ceritanya salah!"
"Ya emang ceritanya bener tapi elo ngga nyeritain intinya!"
"Heeeehh udah udah diem elo berdua," Julia melerai. Tapi karna masih penasaran, ia membela Yosi, "ayolah, Van. Ceritain yang bener. Yang dia maksud. Elo kan ngerti pasti. Ceritain kita dong."
Kau bersandar tidak santai.
"Nih. Gue wudhu. Sepi kan. Ada jam tangan. Gue ambil. Niatnya mau ngembaliin. Trus sholat kan. Gue kepikiran terus. Nih jam bagus banget. Gue mikir, simpen aja lah. Lagian susah kan nyari yang punya jam di tempat segede ini.
"Eh, pas rakaat terakhir, udah mau salam, gue kentut. Keras banget. Panjang lagi. Sekeliling gue langsung noleh semua tuh. Banyak banget yang denger. Padahal gue paling belakang. Yosi udah ngakak. Ah sialan, gue malu abis.
"Pas selesai, gue langsung ke tempat wudhu. Ketemu bapak-bapak nyariin jamnya. Yaudah gue kasih. Dia seneng banget-- yaiyalah jamnya kan mahal-- trus makasih gitu. Udah abis itu gue pulang. Tapi sialnya ban gue bocor di jalan. Udah. Selesai. Puas lo?"
Kita berlima yang masih tertawa sejak bagian kentut tadi tidak menjawabmu. Saat kita berhenti, kau langsung mengalihkan perhatian.
Kau memutar botol minummu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Teen FictionAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...