Empat Belas

118 11 1
                                    

"Evan mana sih?"

"Cie nyariin," goda Yosi.

"Kebiasaan gue itu mah," kataku spontan. "Baru ini berani nanya."

Aku tidak mendapat jawaban. Jadi aku keluar kelas untuk mencari sendiri.

Sekarang sudah istirahat kedua. Mungkin kau berada di kantin, pikirku.

Kau tak ada di kantin. Padahal teman-temanmu duduk disana semua.

Aku kembali ke kelas. Duduk di kursiku yang diatasnya ada tasmu.

Kuambil tasmu dan di bawahnya ada tasku. Seperti biasanya.

Karna tak boleh menaruh tas di meja, kau taruh di lantai. Karna selalu terinjak oleh orang, kau taruh di kursiku.

Aku pun tak apa. Lagipula tasmu tak ada isinya, jadi tak makan tempat.

Beberapa menit tanpamu saja sudah sepi. Bahkan aku tak dapat menggambarkan keadaan dimana disana tak ada kamu.

Tulisanku hambar. Aku juga sedang sangat bosan menunggu.

Aku kembali ke meja Ika untuk mengambil buku-bukuku tadi. Juga tempat pensil.

Aku kembali ke mejaku untuk mengembalikannya ke tas. Lalu aku melihat sesuatu.

Di mejamu, seharusnya cuma ada jaket atau sweater karena kau hampir tak pernah menulis apalagi mencatat.

Tapi di mejamu, sekarang telah ada kertas atau surat yang terlipat rapi, hampir aku kira itu surat pemberitahuan.

Kertas itu hanya selembar. Jadinya aneh, karena biasanya orang menyobek kertas dengan mengambil bagian tengah buku tulis.

Di kertas itu hanya tertulis tiga kalimat. Sama sekali tak aneh, mengingat kau tak tahu cara berkata-kata kalau disuruh bicara pakai bulpen.

Begini tulisannya.

Maidi, gimana bisa aku berhenti ngejar kamu, sedangkan kamu sendiri tak pernah berhenti lari dari aku.

Begitu tulisanmu.

Aku tak menyangka, ternyata kau punya cara lain untuk membuatku bisu.

Aku tak menyangka, lisanmu itu bisa kau translate ke tulisan juga.

Ketika aku akhirnya mengangkat dagu untuk melihat situasi kelas, aku agak berdebar.

Ketika aku bingung karena berdebar tanpa dirimu di kelas, aku nafas lebih cepat.

Pasti dirimu dekat, pikirku. Pasti dirimu sedang berjalan kesini.

Semoga kau tak apa, doaku. Pasti kau aman lah selama kau ada di sekolah.

Dan mungkin, mungkin saja, kita yang hanya pion kecil milikNya sebenarnya tak punya hak untuk memastikan apa-apa.

Setelah itu nyaris, nyaris saja, aku menantangNya karena telah bermain-main dengan keselamatanmu.

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang