Kamis ke-33 di kelas 11.
"Serius elo di gips?"
"Lo punya mata gak sih, Hen? Ga bisa liat apa?" sentakmu.
"Oke, elo di gips," jawab Hendra.
"Kenapa sih?"
"Ya alay aja, tau nggak? Elo cowok apa bukan sih? Kek gini aja ke dokter. Anak cowok mah jatoh dari pohon tetep bisa lari-lari sorenya."
"Sakit, bego!"
"Bencong, lu."
Percakapanmu dengan Hendra selalu dapat kudengar karena jarak bangku kita yang tak terlalu jauh.
Percakapanmu dengan Hendra selalu bodoh.
"Lo diobatin sama siapa?"
"Dokternya, lah."
"Siapa namanya?"
"Kenapa elo peduli?" tanyamu balik. "Gue lupa."
"Gue punya sodara disitu, dia dokter."
"Oh ya? Siapa namanya?"
"Gue lupa."
Kamu misuh. Aku juga misuh tapi dalam hati. Kenapa Hendra sering sekali membuat orang tertawa.
"Kalo gue injek, sakit ga?"
"Engga kayaknya."
Kau menjerit sedetik kemudian, "ah!! Lo gila apa!"
"Elo bilang ga sakit!"
"Ya emang ga sakit tapi kalo patah lo mau ganti?!"
"Alah, itu kan bubur kertas dibekuin."
Dua orang di depan bangku kalian tertawa.
"Ga lucu, Hen," kau bilang.
"Semua ketawa gitu, Van."
"Serah lu dah."
Aku menatap papan tulis sambil sedikit-sedikit mengintip kearahmu. Habitku ya begini.
Hendra menatap kakimu sambil sedikit-sedikit mencuri kesempatan untuk mengetuknya. Orang usil ya begitu.
"Aduh, apaan sih!"
"Sante napa, Van," balasnya. "Btw, ini dicopot kapan?"
"Gatau. Lusa kali."
"Buset, cepet amat! Emang bisa--- di gips--- kalo bentar doang gitu?"
"Kenapa ga bisa?"
"Ya kan maksud gue, kenapa ga sekalian ga di gips, mudeng ga?"
"Tauk deh."
Hendra menyandarkan punggungnya, "yaelah, gue padahal berharap bisa liat elo menderita lebih lama."
"Plis, Hen, sakit yang ga sembuh-sembuh itu cuma satu," kau bilang.
Di hidupku yang monoton ini, kau menoleh ke belakang. Di kelas yang membosankan ini, mataku ditarget milikmu.
Detik dan denyut jantungku berhenti bersamaan.
"Ya kan, Mai?"
Apa?
Aku butuh dua setengah detik untuk menjawab, "hah?"
Kau tersenyum sinis dan melepas tatapanmu, "nggak papa."
Kau kembali menghadap depan--- menghadap pertanyaan bodoh dari sahabatmu juga.
"Sakit gigi?" tebaknya.
"Tauk ah."
Hendra bersorak, "bener kan, sakit gigi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Dla nastolatkówAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...