Dua Puluh?

155 12 6
                                    

Sabtu ke-40 di kelas 11.

Aku mendapati diriku menangis hebat setelah tahu kamu benar soal semuanya.

Dan aku mendapati diriku dibodohi setelah 25 bulan bertahan dengan satu orang.

Kita sudah tak saling berbicara selama 15 minggu. Dan kalau aku benar, 15 minggu yang lalu itu, kau seperti meramal apa yang terjadi di kemarin malam.

Pada minggu ke-25 di kelas 11, tak ada saat dimana kau tak berada di sisiku.

Sebenarnya sejak Senin ke-24 di kelas 11, sih. Tapi itu tak penting. Pokoknya minggu itu kau benar-benar menyulitkanku untuk menjadi pasangan yang setia.

Saat itu hari senin.

"Mai?"

"Hmm?"

Bahuku disenggol dua kali.

"Apa sih?" aku menoleh.

"Jangan nulis dulu," kau merebut bolpenku. "Gue mau nanya."

Mulutku dibungkam sebelum aku sempat protes. Tanganmu bau jeruk saat itu. Aku ingat, itu adalah jeruk yang dicuri Yosi dari kebun sekolah.

"Bawel," katamu. Matamu tak punya ekspresi. Aku nyaris ketakutan.

"Jawab ya, tapi ga usah ngomong. Ngangguk atau nggeleng aja. Bisa?"

Aku mengangguk. Ini pasti serius. Aku juga harus serius.

"Lo ngerti arti setia?"

Aku mengangguk.

"Kalo tulus ngerti gak?"

Aku menyipitkan mata: ya ngerti lah.

"Oke, menurut lo lebih penting tulus apa setia?"

Aku diam sebentar. Lalu setelah tanganmu kau tarik, aku menjawab, "tulus."

Kau langsung menutup mulutku lagi. Sial.

"Oke. Ngga usah kasih alesan. Gue tau lo bakal ngomong panjang lebar," kau melanjutkan, "pertanyaan terakhir---"

Kau menunduk lalu menatapku lurus, "berarti lo lebih mending sama orang yang gak setia tapi tulus, daripada sama orang yang setia tapi gak tulus?"

Aku mengerutkan alis dan mencerna pertanyaan itu lagi. Pada akhirnya aku mengangguk.

"Sumpah?"

Aku menarik tanganmu dari bibirku, "iyaaa!"

Tanpa kuduga kau malah menggenggam tanganku dan menempelkannya ke keningmu. Kau bersorak.

Dengan ibu jarimu kau mengelus punggung tanganku, lalu bilang, "makasih! Aaaahh makasih banyak!"

Kau meninggalkanku dengan perasaan bingung setengah mati. Kau keluar ruangan dengan senyum penuh kemenangan.

Esoknya kau datang lagi. Hari Selasa.

"Nih," kau meletakkan bolpenku yang kemarin di meja. "Kemaren kebawa."

"Alesan," balasku, kemudian menyuap sesendok nasi.

Kau mengaduk-aduk es tehmu. Juga mengacak-ngacak rambutku. "Salam gue udah dibilangin belom?"

"Hah? Salam ke siapa?"

"Bokap elo."

"Haaah?" aku meletakkan sendokku.

"Kemaren lusa ulang tahun kan?"

"I... Iya," jawabku. "Kok... Kok elo tau?"

"Ika teriak di kelas, 'selamat ulang tahun bapaknya sahabatku!', trus gue ikutan," jelasmu. "Tapi kayaknya elo nggak denger ya?"

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang