Tujuh Belas

127 10 3
                                    

"Lo nggak masuk kelas?"

"Enggak. Kan ga ada pelajaran."

"Oooh..."

Aku mulai mati gaya duduk disebelahmu sekarang. Aku mulai eneg dengan semua bau obat sekarang.

Kau mulai kehabisan bahan obrolan. Kau mulai kehabisan oksigen, menguap berkali-kali.

"Ngantuk?"

"Enggak."

"Iya," timpalku, "ayo sana tidur."

"Ga mau."

"Ga boleh!"

"Kenapa?"

"Nanti nggak sembuh."

"Ini udah sembuh btw."

"Belom btw."

"Udah btw! Ngga liat apa gue ketawa dari tadi?"

"Ketawa kan bikin capek."

"Terus?"

"Sama aja harus tidur."

"Ga mau, Mai," tolakmu. "Kenapa sih emang? Kamu pasti mau keatas ya? Kamu mau ngapain?"

Ah. Kau bahkan hafal tempat headset ku--- di kolong meja, belakang tempat mukenah--- jadi tentu saja kau hafal gerak-gerikku.

"Mau pipis."

"Ikut."

"Heh!"

"Gak gak," candamu. "Masa sih kebelet? Ga mungkin. Lo jarang pipis."

"Hah?"

"Iya kan."

"Kata siapa?"

"Elo sendiri! Dulu bilang."

Aku teringat, "oiya sih."

"Nah."

"Iya."

Jeda sebentar.

"Yaudah ke atas aja sana."

"Loh? Kenapa?"

"Ya nggak papa kalo emang pengen."

"Trus elo?"

"Gue kenapa emang?" kau mencibir, "lo care banget sih sama gue."

Aku langsung beranjak.

Kau langsung tertawa.

"Duh," keluhku. "Jangan ketawa!"

Kau bingung, "kenapa?"

"Ntar gue jatuh cinta."

"Aaahh," kau menutup wajahmu dengan selimut, pura-pura malu. "Keluar sana lo!"

"Hahahah, iya iya."

"Eh, sekalian tanyain dong," kau menambahkan, "gue udah boleh keluar apa belom."

"Oke, udah ya," pamitku, "dadah."

"Dah, sayang," kau berkata ke bilik sebelah, dengan tanganmu di depan bibir supaya suaramu terdengar keras.

Penekanan di kata terakhir buatku tertawa kecil. Aku memasang wajah jijik dan mendapati dirimu melet.

Di dekat pintu UKS ada dokter sekolah yang sedang sibuk menulis.

Ia masih muda, jadi kita biasa memanggilnya kakak.

"Kak!" sapaku. "Nulis apa? Tumben nggak main flappy bird."

Pemuda itu tertawa mendengarku. "Ini lho, bikin surat izin. Ngga setiap hari ada siswa berantem kayak gini. Gue bingung mau nulis apa."

Aku hanya tertawa.

"Dulu gue juga sering berantem sih," akunya. "Tapi ga sampe salah nabok orang kali, hahahah!"

"Salah nendang," ralatku.

"Oh iya, ditendang ya," balasnya. Ia melihat perubahan ekspresiku, "dia cowokmu?"

"Hah? Bukan!"

Aku tertawa kecil dan ia menggodaku, "ah, boong. Kalo dia bukan pacar lo, ngapain lo sejam ini nemenin dia di UKS?"

Aku menatap ke luar pintu, "gue juga ga tau, Kak."

Ia meletakkan bolpennya, "lo nggak pulang? Nungguin dia?"

"Engga kok," jawabku. "Dia tadi suruh gue nanyain, dia udah boleh pulang belom."

"Oh, boleh kok," ia jawab. "Tapi nunggu surat ini dulu--- gue masih nulis ini."

"Oalah, oke."

"Lo pulang aja, ntar gue yang bilangin dia."

"Oke, makasih, Kak!"

"Sama-sama."

Aku keluar UKS dan mendengar bel sekolah. Sambil berjalan ke kelas, aku melewati murid-murid yang bergegas ke gerbang sekolah.

Aku mendorong pintu kayu yang gagangnya kamu rusak tahun lalu. Sambil berjalan ke mejaku, aku melewati teman-teman kita yang bergegas keluar kelas.

Aku mengambil suratmu, memasukkannya ke kantong. Aku mengangkat semua bukuku, memasukkannya ke tas.

Tasmu sekalian kubawa karena aku tahu kelasnya akan dikunci sebelum kamu kesini.

Tasmu aku tetap aku bawa karena aku tahu kau akan keluar UKS sebelum aku melewati gerbang sekolah.

"Untung ga ada isinya," gumamku sambil menenteng tas ringanmu.

Aku terus berjalan ke pintu gerbang. Kadang menoleh kanan-kiri untuk mencari keberadaanmu.

Aku terus mendekati pintu gerbang. Kadang melihat sekitarku dan mencari dirimu.

Mengelilingi gerbang besar itu, siswa-siswi sekolah kita sedang menunggu dijemput--- atau sekedar berbasa-basi dengan temannya.

Mengelilingi gerbang besar itu, semuanya berseragam, namun berbeda urusan. Semua murid SMA, namun berbeda postur.

Tapi, ditengah kerumunan itu, ada satu postur yang tak mungkin tidak kukenali, setelah terbiasa memandangnya selama satu setengah tahun lebih.

Bukan, bukan kamu.

Ditengah kerumunan itu, ada satu orang yang menatapku lekat, setelah sekian bulan sama sekali tidak berhadapan denganku.

Bukan, bukan kamu yang sedang berjalan kearahku sekarang.

Bukan, bukan dia yang kucari.

Bukan, bukan dia yang kuinginkan.

Bukan, bukan dia orangnya.

"Faris?"

Kedua alisnya mengerut, "ngapain kamu bawa tas cowok?"

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang