Dua Puluh Satu?

320 17 13
                                    

Hari ke-206 di kelas 11.

Senin ini aku tidak memakai dasi. Kotak penyimpanan barang di kelas mulai kehilangan fungsinya. Selain kehilangan topi, kita kan juga kehilangan dasi.

Ah, sial. Dasiku dimana?

Setelah mencari ke setiap kolong meja, aku pun menyerah. Aku berlari ke koperasi ketika semua temanku sudah mulai baris di lapangan.

"Buk, dasi dong," pintaku. "Cepetan!"

"Iya, iya," katanya, namun membuka lacinya sangat pelan.

Ia mengeluarkan persediaan topinya, dan meletakkannya di meja. Lalu mengeluarkan selusin sabuk. Itu ia letakkan juga. Aku mulai kesal.

"Ayolah, Buk," dorongku.

"Sebentar, Non!"

Ketika ia meraih ke lacinya lagi, aku berdoa dalam hati yang ia keluarkan adalah seikat dasi. Namun itu adalah kaus kaki.

"Aaahh," ujarku frustasi, lalu memutar balik dengan kesal.

Aku tidak sadar di belakangku ada seseorang berdiri. Aku menabraknya.

"Duh!"

"Lah," katanya. "Elo yang nabrak elo yang protes, gimana sih?"

Aku mengenal suara itu. Aku mendongak.

"Apa?" kau bilang, sebagai respon dari alisku yang mengerut--- marah.

Dengan nada yang menantang seperti itu, bagaimana bisa aku tidak kesal?

"Minta maaf!" paksaku.

"Dih, males," tolakmu. "Yang salah elo kok."

"Iiihh!"

Aku mendorong tubuhmu dan melesat kearah pintu keluar. Rasanya ingin kubanting semua barang disini.

"Eh, ini dasinya, Non!"

"Sini, Buk," lalu kau mengejarku sampai ke koridor.

Aku mendengar langkahmu yang semakin jelas. Aku juga merasakan tangan yang menahanku--- kedua lenganku dipegang. Curang. Kau itu laki-laki. Aku tak mungkin bisa melepaskan diri dari cengkraman ini.

"Lepasin!"

Kau memutar paksa tubuhku. Rasanya seperti dibanting. Sekarang kita berhadapan, dengan lenganku masih dipegang tanganmu.

"Percuma," kau bilang, sebagai respon dari diriku yang memberontak.

Aku akhirnya diam.

"Ayo, tarik napas, trus---"

"Berisik!"

Kau kaget atas sentakanku, "santai napa?"

Aku digeret paksa ke lapangan. Kau bilang, "ayo, belom mulai kok upacaranya."

"Gue ga mau upacara!"

"Ga usah teriak, bisa gak sih?" keluhmu. "Kenapa ga mau? Ga pake dasi? Takut dihukum? Nih!"

Kau memberikanku dasi yang tadi aku beli namun tidak aku ambil. Ya, aku kesal, sih.

"Ga mau," aku mengembalikannya, "gue jadi inget sama yang jual--- gue kesel sama dia."

Matamu membelalak seperti tak percaya ada bentuk alasan yang seperti itu. Lalu rautmu seperti berkata: dasar cewek.

Kau berhenti, dan tetap dengan memegang lenganku, kau berkata, "denger ya. Gue tau lo PMS. Elo boleh bersikap ga adil ke gue. Tapi jangan ke orang yang ga bisa maklumin kalo elo itu PMS. Mana dia tau, elo kenapa? Dia ga kenal sama elo."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang