Aku mendorong pintu kayu yang gagangnya sudah diperbaiki tapi masih mengandung kenangan pahit.
Seperti perspektif semua orang tentang mantan kekasih--- mau diperbaiki seperti apapun, kalau ia menghadiahkanmu kenangan pahit, ya hanya itu yang bisa diingat.
Oh iya, sih.
Faris belum jadi mantan kekasihku.
Sial.
Aku meletakkan tasku di bangku paling belakang. Bangku paling nyaman, paling aman untuk tertawa berdua bersamamu.
Kau belum datang. Padahal aku selalu berharap kau akan buru-buru ke sekolah untuk melihatku.
Seperti pagi hari lainnya, pandanganku akan kosong terus hingga jam 7. Lebih dari itu, barulah nyawaku akan sepenuhnya terkumpul. Sekarang belum.
Maka itu adalah alasan mengapa aku hanya memandangi hapeku saat ia bergetar di meja.
Juga alasan mengapa fotomu di layarnya dengan gambar telepon bergoyang-goyang seperti menarik sekali bagiku.
"Mai!"
Hah? Siapa itu?
"Mai, kok diliatin aja, sih? Angkat dong!" Ines berseru.
Apa sih, aku tak mengerti. "Hah?"
"Telfon! Dari Evan!" Ines bilang, sedikit membentak. Mungkin kesabarannya habis menghadapi aku yang masih mengantuk.
Lalu, telfonnya mati.
"Tuhkan," keluhnya. "Elu sih."
Aku mengangkat hapeku dan melihat notifikasinya. Lalu menepuk jidat atas kebodohanku yang luar biasa.
"Yaampun! Evan telfon!" panikku.
"Hello," jawab Ines. "Dari tadi kali!"
Aku cepat-cepat membuka contacts, tentu saja untuk mencari namamu dan menelpon balik. Namun aku sudah keduluan kamu.
Kau telfon lagi.
Kali ini, aku langsung mengangkatnya.
"Apa?"
"Halo, Mai?"
"Iya, halo, kenapa?"
"Kamu masih tidur?"
"Iya, kenapa?"
Jeda beberapa detik. Kita sedang memutuskan siapa yang paling bodoh diantara kita.
"Eh, ya enggak lah," ralatku.
"Iyaya, gue bego banget," jawabmu. "Lagi ngapain?"
"Hah?"
"Ga jadi deh. Ga penting."
"Lo dimana ini?"
"Di mobil."
"Tumben naik mobil?"
"Mau nganter lo pulang nanti."
Aku tersenyum sendiri, "kan bisa naik motor!"
"Ga enak ngobrolnya."
"Terserah elu dah."
"Hahahahah," suara yang paling aku suka darimu.
"Ngapain ketawa?"
"Sedih."
"Lah, harusnya lucu dong!"
"Tuh udah tau."
Aku tertawa kecil, "iihh, iya deh."
Lalu jeda lagi. Aku baru ingat sesuatu.
"Eh, kamu ngapain telfon?"
"Apa?"
"Ngapain telfon?"
"Siapa?"
"Ya elu!"
"Oiyaya," balasmu. "Kenapa ya."
"Lah, gimana---"
"Oh gue inget!" serumu. "Tolong bawain dasi."
"Dasi?"
"Iya elo kan punya dua."
"Kok tau?"
"Belinya sama gue pas itu!"
"Oiya, hahahahah!"
"Bawain ya."
"Hah? Bawain?" aku kaget. "Gue udah di sekolah, keles!"
"Haahh!" kita beradu kaget. "Cepet banget! Ngapain berangkat pagi-pagi?"
"Ya elu aja yang telatnya kurang ajar!"
"Wih, santai bro!"
"Cepet sini, udah mau bel."
"Iya," katamu. "Gue duduk sebelah lo. Sisain tempat."
"Siap bos. Ada lagi?"
"Paling belakang, kan?"
"Iyaaa."
"Oke. Udah ya, dadah."
"Iya, da---"
"Eeehh ada lagi!"
"Apa?"
"Kalo manggil aku yang konsisten," kau bilang. "Elo ya elo. Kamu ya kamu. Panggil sayang juga lebih bagus."
"Apa sih!"
Telfonnya ditutup.
Ending yang bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Ficção AdolescenteAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...