Enam Belas?

127 13 0
                                    

1 Januari, pagi

Rasanya semua embun di bukit ini ingin aku kumpulkan.

Aku simpan di mangkuk raksasa, aku guyur semua ke ubun-ubunmu.

Setiap tetesnya sudah aku pilih yang paling pintar, supaya nurut saat aku suruh menyusuri sela-sela rambutmu. Mereka takkan tersesat diantaranya, seperti pernah jemariku sekali.

Matahari belum muncul. Gelap seperti ini kau tak akan tahu hujan macam apa itu.

Tapi dibanjur embun tajam, embun dingin, itu, kau akan tahu orang macam apa yang tega membekukanmu.

Orang seperti aku, kira-kira. Wanita yang egonya lebih tebal dari kabut pagi.

Aku ingin dirimu menjadi patung saja.

Habis, pagi ini, setiap kamu bicara itu tentang aku. Setiap langkahmu itu kearahku.

Jatuh cinta itu pelit.

Aku tak mau ada orang lain yang jadi sebahagia diriku sekarang.

-untuk evan.

(Tertulis dengan spidol hijau)
(Tertinggal di kamar villa)

.

Perjalanan ke Tangerang.

Setelah mendaki bukit, bermain gelembung, kejar-kejaran, banyak berfoto, intinya--- kita semua senang.

Setelah semalam berpiknik, main petasan, lalu seharian menikmati suasana di Puncak, intinya--- kita semua lelah.

Kita pulang dengan cara yang sama seperti saat berangkat.

Acha membuka pintu mobil depan.

"Eh, lo ngapain?" tanya yang punya mobil.

"Ya kan aku emang duduk sini, gimana sih, Van?"

"Nggak nggak! Gue butuh navigator!" tolakmu.

"Aku kan bisa!" protes Acha. Ia mulai berkacak pinggang.

"Elu mah buka google map doang. Gue butuh navigator beneran," nada bicaramu seribu persen serius. Acha menjatuhkan lengannya.

Cewek itu menatapmu kesal sementara kau termenung menangkap mataku.

Kau berjalan kearahku sementara aku masuk mobil lewat pintu tengah.

Melihatku jelas-jelas menolak menjadi navigator, kau pun mencari orang lain.

Dari dalam mobil, aku melihatmu berbicara pada Bayu. Sepertinya dia yang akan membinamu kearah pulang.

Dari kursi kiri, aku menoleh ke pintu kanan yang terbuka. Julia dan Yosi naik ke kursi belakang, jadi sepertinya aku akan duduk disebelah Hesti atau Acha.

Ternyata yang duduk di tengah Hesti. Tapi, saat kita berhenti di pom bensin, Acha minta tukar.

"Hes, kamu yang di pinggir ya. Aku mau di tengah. Supaya kena AC," Acha bilang dengan nada menyindir.

Kamu yang mendengar hal itu, mengangkat wajah dari hape.

"Elu sih AC diarahin ke elu doang, pas lo duduk depan," malah kamu yang jawab. "Ya jelas pas lo duduk tengah jadi ga dingin. Soalnya dari kemaren lo di depan AC."

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang