Hari pertama sekolah.
Teman sebangku kita diacak oleh wali kelas.
"Mai, lo sama siapa?" tanya Ika.
"Dayat. Lo?"
"Julia," jawabnya singkat.
"YES GUE DUDUK AMA ACHA!" teriak sebuah makhluk sombong beralis nyambung.
Berisik.
"Biasa aja kali, Van," sahut Acha judes. Ia melanjutkan sambil merengut, "Yah gue jadi jauh dari Hesti..."
Cowok eksis yang gebetannya lusinan, sama cewek cantik yang suka ngerumpi tentang kucing. Good luck aja sih.
"Ya gimana ya, gue kan seneng bisa deket sama bidadari kayak lo, Cha," katamu.
Basi.
Tapi dia tak mendengarmu karena pada saat itu ia tidak muntah.
Aku menoleh ke Dayat.
Jangkung. Anak futsal. Lumayan lah. Yaudah deh, selamat menempuh kelas 11, Maidi.
.
Paginya.
"Pake topi gue nih."
"Hah ngapain? Gausah ah ntar juga gue nemu di kolong."
"Tapi sampe sekarang lo belom nemu juga kan?"
Bel masuk.
"Ambil aja lah, siapa nama lo?"
Bodoh.
"Ah, kelamaan lo. Nih. Lo gabakal berani kan minta topi ke kelas sebelah? Disitu banyak temen gue tenang aja."
Kemudian kau menaruh topimu di meja dan melesat ke XI IPA 4. Kemudian aku mengambil topi yang bertuliskan nama orang lain di dalamnya. Kemudian aku melesat ke lapangan.
Kemudian timbul rasa penasaran sialan yang membawaku ke situasi ini.
Evan ya?
.
Rapat pertama di kelas membahas uang kas.
"20 ribu aja lah," Andri. Malas berpikir.
"Nggak bisa, nanti kalo ada fotokopi mendadak trus nggak cukup kasnya gimana?" Ika. Sedia payung sebelum hujan.
"Tapi lo gila, Kak. Masa 25 ribu?! Gue bisa beli ratusan batagor kalo diitung-itung," Evan. Pelit.
"Alay," Julia. Cuma nimbrung.
"Beda 5 ribu aja sama pilihan lo, sewot," Ika. Mulai badmood.
"Tapi gue bener, kan? Itu kemahalan!" Evan, bernada tinggi.
"Udah 20 ribu aja," Andri lagi.
"Andri sih jelas alesannya karna males cari uang pas. Kalo lo apa? Biar bisa jajan banyak kan!" Ika. Berdiri di depan Evan.
"Itu alesan yang jelas kok. Liat aja semuanya setuju kan sama gue," Evan. Berdiri di depan Ika.
"Plis, cuma lo sama Andri yang nggak setuju 25 ribu," Aku. Menggumam.
Lalu kamu menatapku. Lalu kamu mengingat namaku. Berkata aku lebih baik tidak ikut campur. Tapi itu bodoh karena ini menyangkut keputusan kelas.
Sedangkan aku ketua kelasnya.
"Yaudalah terserah kalian. Gue males ah. Nggak adil. Kalian nggak nerima saran gue," Evan. Keluar kelas.
"Ih, beda 5 ribu aja ngambek," Andri. Akhirnya mengikuti alur.
"Aaah gatau gue gak suka jadi bendahara!" Ika. Teriak.
Minggu pertama. Wajar.
.
Istirahat hari ke-3 di kelas 11.
"Kak, lo makan apa?"
"Udalah, Mai, kalo mau minta ya minta aja."
"Yey," aku menusuk satu bakso di piring Ika.
Keras. Pantesan boleh minta.
"Btw, Mai, gue bingung deh ama Evan."
"Napa?"
"Yaaa, hari ini dia nawarin ekskul beatbox ke gue, trus--"
"Padahal jelas banget lo batuk aja fals."
"--iya. Terserah. Tapi dia tuh nawarinnya sopan, gila. Gue hampir gak ngenalin dia. Trus dia promosiin beatbox rinci banget--"
"Sedangkan bagi lo hal itu se nggak penting 'kenapa kancing baju bentuknya bulet'."
"--lo bisa diem gak sih? Intinya dia itu beda banget, Mai. 180 derajat. Dia bahkan bilang makasih habis gue tolak."
Aku diam.
"Kemaren lo liat sendiri kan nyebelinnya kayak apa? Anak kecil abis. Gue bingung deh," Ika selesai ngomong. Dia makan.
Aku berhenti makan. Aku ngomong.
"Hari senin dia minjemin gue topi."
Ika tidak menjawab. Ia hanya berhenti mengunyah bakso bulat besar yang membuat pipinya terlihat seperti kubah masjid, sambil menatapku.
Aku bercerita. Ika mendengarkan. Dan tahukah kamu, kita menyimpulkan kalau kau bipolar dan kau akan bersikap baik setiap tanggal genap.
Setiap tanggal ganjil, kau tahu sendiri lah.
Haha.
Teori yang sangat sangat sangat konyol.
Tapi kebenarannya dibuktikan saat keesokan harinya kau menumpahkan air ke tugas sejarahku dan tidak meminta maaf.
Saat itu aku sama sekali tak menyangka beberapa bulan ke depan kamu tidak akan 'bipolar' lagi.
Saat itu aku sama sekali tak menyangka aku lah alasan kau memperbaiki sikapmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Teen FictionAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...