Sebelas?

162 13 0
                                    

Senin ke-23 di kelas 11.

"Mai," Ika cekikikan.

"Hah? Napa lo?"

"Lo seruangan sama Hendra."

Aku menoleh cepat, menatapnya keras seolah aku Medusa. "Boong?"

"Iyaaa!" sekarang ia tertawa lepas. "Gue seruangan ama Dayat btw."

Ada sepercik kecemburuan di batinku, "gue ga peduli btw."

"Elo peduli btw!" nadanya menghina, "gausah galau, Mai. Gue tau elo cemburu."

"Hiiihh," dengan sinis kujawab, "curang. Napa sih elo mesti seruangan sama yang pinter. Jenius malah. Sialan. Hidayatullah. Ga tanggung-tanggung."

Ika tertawa lepas, aku juga. Ia memukul bahuku pelan, aku membalasnya keras.

"Auw!" keluh Ika, "biasa aja kali, mbak."

"Gue melampiaskan kegalauan gue," kataku. Yang sebenarnya karna tak seruangan dengan kamu.

"Gausah galau. Ini UAS. Belajar."

"Ga mau tau UTS-UAS kedepan gue seruangan ama Hesti terus," tegasku. "Gue nyogok kepsek deh kalo harus."

Aku dan Ika terus bercanda sambil berjalan ke ruangan masing-masing. Seburuk apa sih soal fisika nanti? Kita tak peduli.

Aku dan Ika berpisah karena ruanganku ada di atas. Seburuk apa sih UAS bersama Hendra? Aku tak peduli.

Aku sedang menghitung anak tangga ketika aku merasakan sesuatu.

Tidak. Bukan merasakan. Mencium.

Dari atas, ada seseorang yang sedang menuruni tangga. Aku tahu persis itu siapa. Sayangnya, aku hanya sendirian sehingga aku terpaksa berpapasan dengan orang ini.

Aku terus melihat ke bawah-- gugup setengah mati. Argh. Kenapa ini?

Hingga akhirnya kita menginjak anak tangga yang sama, ia menyenggolku. Aku menabrak tembok.

"Apa sih, Van," kataku tanpa menoleh.

Aku harap kau tak tahu bahwa aku bisa mengenalimu hanya dari baumu, karena itu akan memalukan.

Maksudku, sespesial apa kamu sampai aku tahu baumu seperti apa?

Seumur-umur, bau orang yang aku hafal selain orang tuaku, adalah Faris. Yap. Aku hafal bau Faris, dan kau sudah bisa menyamakannya.

Hafal bau pacarku sendiri sih, tidak aneh. Tapi hafal baumu? Gila.

Dari suaranya, aku tahu langkah kakimu sudah menginjak dasar tangga. Aku pun sudah berada di lantai dua.

Sambil mencari kelasku, aku berpikir.

Bertanya-tanya, apakah kau hafal bauku juga?

.

Hari ke-4 UAS semester 1.

Aku selesai duluan, keluar pertama. Yang lain menganga, tak percaya.

"Setengah jam. Lima puluh nomor," mata mereka berbicara.

"Kimia. Lima puluh omong kosong," alisku menyahut.

Aku berjalan sesantai mungkin di koridor. Bahkan memperlambat, ketika tidak ada yang melihat.

Ya, aku kan tak mau orang melihatku menyeret kaki seolah betisku terbuat dari semen. Lalu berdiri di sebelah pilar hanya mengagumi betapa uniknya arsitektur wastafel taman ini.

Sekolah sepi sekali. Dan aku harus mengagumi setiap sudut sekolah selama satu setengah jam sampai murid-murid mulai keluar ruangan.

Bagus.

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang