Dua?

334 34 0
                                    

Minggu ke-3 di kelas 11.

"Tinggal lomba pidato. Harus cowok. Dan yang belom lomba cuma Yosi, Raffi, sama Evan."

Voting dimulai atas perintahku. Dari 31 anak, 8 memilih Yosi, 22 memilih Rafi, dan kamu hanya dipilih satu orang.

Kau tahu siapa.

"Oke fix ya, makasih semuanya! Fi, maaf ya kamu agak nggak beruntung, hehe. Bisa kan les pianonya ditunda dulu? Aku mau briefing." Aku menghadap ke Rafi dan mengabaikan kamu yang tidak berhenti menoleh kearahku.

Bingung kenapa gue milih lo? Sama, gue juga.

"Mai," seseorang menepuk bahuku.

Aku menoleh. Ika. "Kenapa, Kak?"

"Lo pasti punya alesan kan kenapa milih Evan buat ikut lomba ini?"

Setelah menggumam sebentar, aku jawab, "ya iyalah."

Ika melihat ke daftar nama peserta lomba tahunan di tangannya. 17 Agustus-an. "Hmm, gue sih tau elo pinter nempatin orang ke tugasnya, Mai. Jadi kalo elo emang yakin perwakilan kelas kita dia, ya nggak papa."

"Ga usah, Kaaak," aku tersenyum, senang diberi kepercayaan. "Kan udah voting."

Matanya belum lepas dari daftar itu, "emang kenapa Evan sih?"

Aku diam.

Kau sedang duduk di meja saat itu--- menghadap teman-temanmu. Terus bercerita, membuat mereka terus tertawa.

"Liat deh," aku menunjuk ke arahmu. Begitu Ika menoleh, aku melanjutkan, "dia punya aura."

Kita berdua memperhatikanmu selama beberapa lama. Ikut tertawa melihat gesturmu.

"Bercandanya dia itu bukan ngelawak," jelasku. "Gue baru kenal dia dua minggu, sih. Tapi sejauh ini gue yakin lucunya dia itu natural."

Ika menyetujui.

"Dia pinter bangun suasana. Dan yang bikin gue ngerasa dia cocok ikut lomba ini--- dia pinter memprovokasi," aku menunggu Ika selesai tertawa sebelum akhirnya bilang, "pedenya dia itu keterlaluan. Sampe dia ga peduli dia salah apa bener, yang penting dia bisa bikin orang banyak setuju sama omongannya."

"Maksud lo?"

"Ya, gue ga tau sih," kataku, saat aku tahu persis orang sepertimu itu sifatnya bagaimana. "Tapi udah berapa kali dia berhasil bikin anak-anak memperbarui perspektifnya, gitu lho. Supaya sama kayak dia."

Kau mendadak berdiri, kemudian berjalan ke luar kelas. Yang lain serempak mengikuti. Jelas disini kaulah si 'ketua geng'.

Aku menunduk.

"Ah, gue ngomong apa sih," ujarku, kemudian merebut kertas dari tangan Ika dan menulis nama Rafi di kolom pidato. "Kalo masalah acara sekolah, mah, anak kayak dia ga bakal peduli."

Ika mengangguk setuju disaat jantungku terpantuk rasa ingin tahu.

.

Hari Kemerdekaan.

"Plis, beneran nih diantara kalian ngga ada yang mau foto sama cowok kekinian kayak gue?"

Kamu mencoba meyakinkan Acha dan dua orang teman pemuja harimaunya itu bahwa akan sangat sayang bila mereka melewatkan kesempatan foto bersama salah satu dari 10 most wanted boys sekolah kita.

Wanted karna sering mbolos nih?

"Ayolah, ini sekali seumur hidup, girls. YOLO! LWWY! Peace! Come on!"

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang