"Aduh apaan sih lepasin!" Kamu belum menyerah. Kamu terus mencoba meraih tanganku.
"Ya kamu yang apaan, Mayang," aku tak mungkin menyerah. Aku terus menyingkirkan tanganmu-- tak menjawab saat kau melanjutkan, "kamu kenapa marah sama aku?"
Yosi dan Dayat saling toleh, "Mayang?"
"Maidi-Sayang," jawabmu.
"BWHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAA," mereka terus tertawa tapi aku tak begitu terusik karna yang menarik perhatianku hanya kamu.
Huh. Saat-saat seperti inilah aku sangat bersyukur kau tak dapat mendengar isi kepalaku.
"Ayo jawab, jangan malu-malu gitu ah. Kamu marah kenapa sih?"
Astaga, berhentilah menggodaku.
"Ya kamu."
"Kenaaapaaa?"
"Iiiihh."
"Iiiiiiiiiiiiiiihhhh," kamu mengimitasiku dengan nada mengejek. Dua cowok didepan kita tertawa spontan. Mengejekku juga.
"Hiiihh jangan ketawain gue lah!!" Aku mencoba menghentikan mereka dengan nada mengancam. Tiga cowok yang masih menertawaiku ini menggema.
"Hiiiiihh jangan ketawain gueeeee," kompak juga.
Tapi aku masih bosan, "ga jelas ah. Ayo main aja gue capek."
"Kok elo sih yang capek padahal kita yang ngakak dari tadi!" Yosi menjawabku-- masih terbawa dengan suara cewek buatan yang berlebihan dan luar biasa cempreng.
"Ih suara lo, Yos!" kamu menyadarinya. Tapi kamu juga menyadari aku yang mati gaya, "hahah, iya iya, Mai. Jangan ngambek gitu ah."
"Ya ya."
"Mau main apa sih?"
"Gatau."
"Loh gimana sih elo yang ngajak."
"Ngga tau gueee kali aja kalian punya ide gitu..."
Kalian saling tatap.
"LGR yuk?" Tawar Yosi. Serius.
"Gila lo bukan main yang kayak gitu ah gue alergi LGR pergi sana!!" Usirku. Serius.
"Loh gue bingung maksud lo apaan, dih jahat amat anaknya pak Rahmat."
"Maksud gue kayak main kartu gitu lo... atau UNO kek. Catur. Monopoli. BUKAN MONOPOLI LGR," tanpa sengaja membesarkan suaraku, "oke enggak sih. Maksud gue 'abc lima dasar' gitu. Yang ada hompimpa-hompimpanya. Yang melibatkan tangan. Gitu."
Kamu memegang tanganku. Dan saat kulempar telapakmu yang dingin itu, kamu hanya menjawabnya dengan, "sori reflek."
"Bukan gitu maksudnya duh," jawabku sewot. "Apaya..."
Kamu mencoba mencari sesuatu, Dayat dan Yosi juga. Dan saat aku menyerah karna tidak mendapatkan ide apa-apa, Dayat dengan tenang menjawab, "gue tau."
"Apa?" Serempak.
"ToD."
.
Pintu kayu tua itu terdengar lagi bunyinya. Seseorang dari luar mendorongnya. Seseorang yang terlihat seperti guru bahasa indonesia.
Para penggosip itu tidak terdengar lagi cekikiknya. Seseorang memberi mereka peringatan untuk tidak melanjutkan keseruan yang tak berguna itu. Seseorang yang terlihat seperti laki-laki setengah baya dengan kacamata rantai.
Yosi beranjak dari kursinya yang ternyata milik Bayu. Aku dan kamu beranjak dari kursi kita yang ternyata milik Julia dan Ines. Yosi akhirnya duduk disebelah Andri. Aku dan kamu akhirnya duduk disebelah-- ya, sebenarnya bersebelahan.
"Yak, ini bakal jadi pagi yang panjang."
Aku hanya meresponmu dengan satu hembusan panjang.
Kau ikut mengeluh dalam bentuk nafas.
Kita hanya memandang papan kosong menunggu si tua mengumpulkan cukup tenaga untuk mengucapkan salam.
Seisi kelas ikut menunggu.
"Yak, selamat pagi semua."
Tiga orang yang dengan ikhlas menjawab salam itu membuat kami semakin sadar untuk membawa earphone setiap hari Selasa.
"Mai, pinjem bolpen."
Tiga kata yang kau ucapkan barusan membuatku semakin ingat dengan percakapan konyol kita setiap pelajarannya membosankan.
"Oke, tapi temenin gue ngobrol."
"Tentang?"
"Biasalah."
"Oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pintu Kayu
Teen FictionAku mendorong pintu kayu yang gagangnya dirusak kamu Desember lalu. Tak menyadari bahwa lima bulan lagi gagangnya akan diganti dengan yang baru, membuatku lupa apa alasanmu membanting pintu tak bersalah itu. Buatku lupa juga kalau merebut pacar oran...