Sembilan?

169 17 3
                                    

Senin ke-19 di kelas 11.

"Pagi semuaaaaa!"

"Waalaikumsalam."

"Eh, oya. Assalamualaikum. Hehe," aku memperbaiki sapaanku.

Dayat tersenyum selama seperempat detik setelah aku menerima ralatnya.

Panggilan untuk turun ke lapangan terdengar dari speaker enam detik setelah aku memasang topi abu-abuku.

Pagi itu ceria sekali. Mungkin Tangerang sedang memutuskan untuk menjadi kota yang sangat sejuk.

Kalimat pertama darimu hari itu adalah, "lo masih marah sama gue?"

Suara dan tatapanmu lemah sekali. Mungkin pertengkaran kita Jumat lalu memutuskan untuk menginap di pikiranmu.

Kata pertama dariku untukmu hari itu adalah, "iya."

Aku tak tahu kata-kata kasarku tiga hari yang lalu masih membusuk di telingamu. Seperti halnya kau tak tahu darah panasmu masih lengket di kulit lengan kiriku.

Satu persatu sila dibacakan. Sila persila satu lapangan menggema.

Aku ingat pada sila kedua kau berbisik, "maafin gue dong, Mai."

Dan di sila ketiga kau melanjutkan, "Maaaii..."

Dan aku juga ingat pada sila keempat kau bersin keras sekali.

Membuat orang-orang disekitar kita tertawa-- mengabaikan sila kelima.

Membuatku tanpa sadar berbisik, "bego lu."

.

Hari yang sama.

"Nih. Ntar balikin ke Acha, ya!" teriak Ika sambil lari keluar kelas.

Aku menangkap buku catatan yang dilempar sahabatku tadi. Secepat kilat mengambil bolpen untuk menyalin di buku catatanku sendiri.

"Gabung dong!" kata Yosi merebahkan dirinya di kursi sebelahku, secepat kilat mengambil bolpen dari tempat pensilku dan melakukan apa yang kulakukan.

Sepuluh menit ini akan berharga bila aku dapat menyelesaikan catatan bahasa indonesia tepat waktu. Rasa lapar tak akan menang melawan bayang-bayang guru killer yang setelah bel akan memunculkan diri di depan pintu kelas.

Mataku terus scanning sementara tanganku mencetak apapun yang terbaca.

Niatku sih memfotokopi tugas sialan ini. Tapi bagaimana bisa wajahmu datang bagai virus-- memenuhi monitor sampai aku kewalahan-- padahal kau sendiri tak berada disini.

Otakku sekarang hanya berisi akal tentangmu. Astaga, dimana tadi paragraf yang kucontek?

Seribu kali aku mengusir tatap memohonmu itu, sayangnya perangkat pada hatiku tak begitu canggih. Anti virusku luluh. Sepertinya aku menyesal.

(Atau mungkin hanya sedikit merindukanmu?)

Aku pasti kehabisan tinta. Atau kertas. Karena aku sudah berhenti menulis.

Tak mungkin kan aku duduk mematung begini cuma karena bayangmu?

Aku pasti kehabisan tinta. Atau kertas.

"Mai, udah belom? Gue mau nyontek yang baliknya."

Oh. Bahkan Yosi yang baru datang sudah selesai menulis halaman ini.

"Eh-- udah. Belom sih. Gapapa balik aja," jawabku. Datar.

Lagipula, siapa yang bisa fokus bekerja dalam keadaan seperti ini?

Pintu KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang